Selasa, 26 Oktober 2010

KETELADANAN SEBAGAI METODE DALAM PENDIDIKAN

Posted by Eko 23.36, under | No comments

 
Bila dicermati secara historis  pendidikan  di zaman Rasulullah Saw. dapat dipahami bahwa salah satu faktor terpenting yang membawa beliau kepada keberhasilan adalah keteladanan (uswah).[1] Rasulullah Saw. di dalam mendidik tidak hanya melalui kata-kata saja, tetapi, lebih banyak memberikan keteladanan dalam mendidik umatnya. Karena itulah, keteladanan dikatakan sebagai  metode yang sangat efektif dalam pendidikan, khususnya pendidikan Islam.    
Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad fil Islam:
"القدوة فى التربية هى من أنجع الوسائل المؤثرة في إعداد الولد خلقيا. وتكوينه نفسيا واجتماعيا. ذلك لأن المربي هو المثل الأعلى في نظر الطفل. والأسوة الصالحة في عين الولد. يقلده سلوكيا. ويحاكيه خلقيا من حيث يشعر أولايشعـر. بل تنطبع في نفسه وإحسانه صورته القولية والفعلية والحسية والمعنوية من حيث يدري أولايدري"[2]
Maksudnya keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual , dan etos sosial anak. Hal ini karena pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak didik, yang tindak-tanduk dan sopan santunnya disadari atau tidak, akan ditiru anak didiknya.
 Oleh karena itu, keteladanan yang baik adalah salah satu metode  yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan. Hal ini karena keteladanan memiliki peranan yang sangat signifikan dalam upaya mencapai keberhasilan pendidikan, dan juga dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap nilai-nilai pendidikan Islam.
Dalam praktek pendidikan dan pengajaran, metode keteladanan ini dilaksanakan dalam dua cara, yaitu; Pertama, secara langsung (direct) maksudnya bahwa pendidik benar-benar menjadikan dirinya sebagai contoh teladan yang baik bagi anak didik. Kedua, secara tidak langsung (indirect) yang maksudnya, pendidik menceritakan riwayat para nabi, kisah-kisah orang besar, pahlawan dan syuhada, yang tujuannya agar anak didik menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai suri teladan dalam kehidupan mereka.[3]
Layaknya metode-metode yang lain, metode keteladanan juga memiliki kekurangan dan kelebihan sendiri. Namun kelemahan dan kelebihan metode keteladanan ini tidak bisa dilihat secara kongrit. Tetapi secara abstrak Armai Arif mengatakan kelebihan dan kekurangan metode ini dapat diinterprestasikan sebagai berikut:
1.      Kelebihan
a.       Akan memudahkan anak didik dalam menerapkan ilmu yang dipelajarinya di sekolah.
b.      Akan memudahkan guru dalam mengevaluasi hasil belajarnya.
c.       Agar tujuan pendidikan lebih terarah dan tercapai dengan baik.
d.      Bila keteladanan di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat baik, maka akan tercipta situasi yang baik.
e.       Tercipta hubungan harmonis antara guru dan siswa
f.       Secara tidak langsung guru dapat menerapkan ilmu yang diajarkannya.
g.      Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena akan dicontoh oleh siswanya.
2.      Kekurangan
a.       Jika figur yang mereka contoh tidak baik, maka mereka cenderung mengikuti hal-hal yang tidak baik tersebut pula.
b.      Jika teori tanpa praktek akan menimbulkan verbalisme.[4]

      
Dengan demikian, apa yang telah diuraikan tersebut di atas, dapatlah menjadi suatu gambaran bahwa keteladanan guru sangatlah berpengaruh pada pendidikan anak, karena metode ini sangat efektif dan meyakinkan akan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk moral, spiritual dan sosial anak. Untuk itulah pendidik harus menyadari bahwa dirinya merupakan figur yang baik dalam pandangan anak didik, yang mana perkataan dan perbuatannya akan menjadi panutan bagi anak didik.


[1] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h, h.116
[2]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad Fi al-Islam, (Bairut : Dar al-Salam, tth.), Jilid 2, h. 633.
[3]Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Shaleh; Prinsip-prinsip Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: al-Bayan, 1998), h. 39 
[4]Armai Arif, op.cit., h.122-123

Senin, 18 Oktober 2010

ANTARA QADHA DAN FIDYAH BAGI IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Posted by Eko 01.28, under | No comments

 Penyusun: Ummu Ziyad Murajaah: Ust. Aris Munandar

Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
1. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa Bagi ibu, untuk keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkan keadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat,
“Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah[2]:184)
Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ―Kami tidak mengetahui ada perselisihan di antara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya.‖ (al-Mughni: 4/394)
2. Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa
Sebagaimana keadaan pertama, sang ibu dalam keadaan ini wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, ―Para sahabat kami (ulama Syafi‘iyah) mengatakan, ‗Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi‘iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya,
maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi‘iyyah).‘‖ (al-Majmu’: 6/177, dinukil dari majalah Al Furqon)
3 .Untuk Ibu Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan si Buah Hati saja
Dalam keadaan ini, sebenarnya sang ibu mampu untuk berpuasa. Oleh karena itulah, kekhawatiran bahwa jika sang ibu berpuasa akan membahayakan si buah hati bukan berdasarkan perkiraan yang lemah, namun telah ada dugaan kuat akan membahayakan atau telah terbukti berdasarkan percobaan bahwa puasa sang ibu akan membahayakan. Patokan lainnya bisa berdasarkan diagnosa dokter terpercaya – bahwa puasa bisa membahayakan anaknya seperti kurang akal atau sakit -. (Al Furqon, edisi 1 tahun 8)
Untuk kondisi ketiga ini, ulama berbeda pendapat tentang proses pembayaran puasa sang ibu. Berikut sedikit paparan tentang perbedaan pendapat tersebut.
Dalil ulama yang mewajibkan sang ibu untuk membayar qadha saja.
Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana kondisi pertama dan kedua, yakni sang wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa‘di rahimahumallah
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk membayar fidyah saja.
Dalill yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, ―Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.‖ ( HR. Abu Dawud)
dan perkataan Ibnu ‗Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang seorang wanita hamil yang mengkhawatirkan anaknya, maka beliau berkata, ―Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin.‖ (al-Baihaqi dalam Sunan dari jalan Imam Syafi‘i, sanadnya shahih)
Dan ayat Al-Qur‘an yang dijadikan dalil bahwa wanita hamil dan menyusui hanyaf membayar fidyah adalah, “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar diyah (yaitu) membayar makan satu orang miskin.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 184)
Hal ini disebabkan wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya dianggap sebagai orang yang tercakup dalam ayat ini.
Pendapat ini adalah termasuk pendapat yang dipilih Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan hafidzahullah.
Dalil ulama yang mewajibkan sang Ibu untuk mengqadha dengan disertai membayar fidyah
Dalil sang ibu wajib mengqadha adalah sebagaimana dalil pada kondisi pertama dan kedua, yaitu wajibnya bagi orang yang tidak berpuasa untuk mengqadha di hari lain ketika telah memiliki kemampuan. Para ulama berpendapat tetap wajibnya mengqadha puasa ini karena tidak ada dalam syari‘at yang menggugurkan qadha bagi orang yang mampu mengerjakannya.
Sedangkan dalil pembayaran fidyah adalah para ibu pada kondisi ketiga ini termasuk dalam keumuman ayat berikut,
―…Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…‖ (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
Hal ini juga dikuatkan oleh perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, ―Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.‖ (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Irwa‘ul Ghalil). Begitu pula jawaban Ibnu ‗Umar radhiallahu’anhu ketika ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya, beliau menjawab, ―Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan.‖
Adapun perkataan Ibnu Abbas dan Ibnu ‗Umar radhiallahu’anhuma yang hanya menyatakan untuk berbuka tanpa menyebutkan wajib mengqadha karena hal tersebut (mengqadha) sudah lazim dilakukan ketika seseorang berbuka saat Ramadhan.

Demikian pembahasan tentang qadha dan fidyah yang dapat kami bawakan. Semoga dapat menjadi landasan bagi kita untuk beramal. Adapun ketika ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, maka ketika saudari kita menjalankan salah satu pendapat ulama tersebut dan berbeda dengan pendapat yang kita pilih, kita tidak berhak memaksakan atau menganggap saudari kita tersebut melakukan suatu kesalahan.
Semoga Allah memberikan kesabaran dan kekuatan bagi para Ibu untuk tetap melaksanakan puasa ataupun ketika membayar puasa dan membayar fidyah tersebut di hari-hari lain sambil merawat para buah hati tercinta. Wallahu a‘alam.
Maraji‘: Majalah As Sunnah Edisi Khusus Tahun IX/1426H/2005M Majalah Al Furqon Edisi 1 Tahun VII 1428/2008 Majalah Al Furqon Edisi Khusus Tahun VIII 1429/2008 Kajian Manhajus Salikin, 11 Desember 2006 bersama Ust. Aris Munandar hafidzahullah Panduan dan Koreksi Ibadah-Ibadah di Bulan Ramadhan, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah. Majelis Ilmu. Cet 1 2008

Jumat, 08 Oktober 2010

BEOGRAFI IMAM AL-BUKHARI

Posted by Eko 02.48, under | No comments

Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dijuluki dengan Abu Abdillah. Ia lahir di Bukhara pada tahun 194 H. Semua Ulama, baik dari gurunya maupun dari sahabatnya memuji dan mengakui ketinggian ilmunya, Ia seorang Imam yang tidak tercela hapalan haditsnya dan kecermatannya. Ia mulai menghapal hadits ketika umurnya belum mencapai 10 tahun, ia mencatat dari seribu guru lebih, ia hapal 100.000 hadits shahih dan 200.000 hadits tidak shahih.

Dia mengarang kitab besar Al-Jami’ ash Shahih yang merupakan kitab paling shahih sesudah Al-Quran, hadits yang ia dengar sendiri dari gurunya lebih dari 70.000 buah, ia dengan tekun mengumpulkannya selama 16 tahun.a hafiz mempunyai beberapa komentar terhadap sebagian haditsnya, mereka telah melontarkan kritik atas 110 buah diantaranya. Dari 110 hadits itu ditakhtijkan oleh Imam Muslim sebanyak 32 hadits dan oleh dia sendiri sebanyak 78 hadits. Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa hadits hadits yang dipersoalkan ini “ tidak seluruhnya ber’illat tercela, melainkan kebanyakan jawabannya mengandung kemungkinan dan sedikit dari jawabannya menyimpang”.

Kitab Shahih Bukhari mempunyai banyak syarah yang oleh pengarang kitab Kasyf adh-Dhunun disebutkan 82 syarah diantaranya. Tetapi yang paling utama adalah syarah Ibnu Hajar al-Asqalani yang bernama Fat al-Bari, dan berikutnya syarah Al-Asthalani, kemudian syarah al-Aini Umdat al Qari.

Al Bukhari mempunyai banyak kitab, antara lain At-Tawarikh ats Tsalatsah al-Kabir wal Ausath wash Shaghir (Tiga Tarikh: Besar, sedang, dan Kecil), kitab al-Kuna, Kitab Al-Wuhdan, kitab al-Adab al-Mufrad dan kitab Adl-Dlu’afa dan lain lainnya.

At-Tirmidzi berkata tentangnya:”Saya tidak pernah melihat orang yang dalam hal illat dan rijal, lebih mengerti daripada Al-Bukhari”.

Ibnu Khuzaimah berkata:” Aku tidak melihat dibawah permukaan langit seseorang yang lebih tahu tentang hadits Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam daripada Muhammad bin Ismail Al-Bukhari”.

Muslim bin al Hajjaj pernah datang kepadanya lalu mencium antara kedua matanya, seraya berkata:” Biarkan saya mencium kedua kakimu, wahai guru para guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter penyakit hadits.”

Abu Nu’im dan Ahmad ibn Ahmad berkata:” Al-Bukhari adalah faqih (ahli hukum) dari ummat ini.”

Abu Muhammad Abdullah bin Abdurahman Ad-Darimy berkata:” Muhammad ibn Ismail (Bukhari) orang yang tercakap dalam bidang hukum dari antara kami dan lebih banyak mencari hadits.”

Telah dipaparkan dalam pembahasan hadits Maqlub, ketika para ulama baghdad sengaja memutar balikan seratus hadits, lalu Al-Bukhari mengembalikan setiap matan kepada sanad yang sebenarnya dan setiap sanad kepada matannya, sehingga membuat para ulama kagum akan hapalan dan kecermatannya. Dalam rangka meneliti dan menghapal hadits, Al Bukhari tidak segan segan melakukan perjalanan ke Syam, Mesir, Baghdad, Kufah, Jazirah, Hijaz dan Basrah.

Al-Bukhari adalah salah seorang dari imam Mujtahid dalam bidang fiqh dan dalam bidang mengistibathkan hukum dari hadits.

Al-Bukhari meriwayatkan hadits bersumber dari Adl-Dlahhak bin Mukhallad Abu Ashim an-Nabil, Makki bin Ibrahim al-Handlali, Ubaidullah bin Musa al-Abbasi, Abdullah Quddus bin al-Hajjaj, Muhammad bin Abdullah al-Anshari dan lain lain.

Sedangkan yang meriwayatkan darinya banyak sekali diantaranya: At-Tirmidzi, Muslim, An-Nasa’I, Ibrahim bin Ishak al-Hurri, Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi, dan orang terakhir yang meriwayatkan darinya adalah Manshur bin Muhammad al Bazwadi.

Ia wafat pada tahun 256 H di Samarkand yang bernama Khartank



Sumber :

- Biografi Al-Bukhari dalam Tarikh al-Baghdad, al-Khatib 2/4-36, Tadzkirat al-Huffadh 2/122, Tahzib at Tahdzib Ibn Hajar Asqalani 9/47.

SUNNAH PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN

Posted by Eko 02.40, under | No comments

   

A.    Pengertian Sahabat dan Tabi’in
Shahabat menurut lughah, jamak dari shahib itu diartikan: “yang empunya dan menyertai.” Menurut ‘uruf, kawan atau teman yang selalu berada bersama-sama kita. Dan jamak dari kata shahib adalah shabhun, ashab, dan shahabah.
Sahabat, menurut Jumhur ahli hadits ialah:
من لقي النبي مؤمنا به ومات على الاسلام
“Orang yang bertemu dengan Nabi, ia beriman kepadanya dan mati di dalam Islam”
Orang yang bertemu dengan Nabi Saw., namun dia belum memeluk agama Islam, tidak dipandang sahabat. Karena orang itu masih dipandang musuh. Orang yang semasa dengan Nabi Saw. dan beriman kepadanya tetapi tidak menjumpainya, seperti An-Najasi (Raja Habsy), atau menjumpai Nabi Saw. setelah Nabi  wafat, seperti Abu Dzuaib juga tidak bisa disebut sahabat.
Termasuk sahabat, jika ia tetap dalam keadaan beriman, hingga dia wafat. Jika dia murtad sesudah dia dijuluki “sahabat”, hilanglah kesahabatannya, sehingga dia kembali beriman. Jika dia meninggal dalam kekafiran seperti Abdullah ibn Jahasy, maka hilanglah kesahabatannya itu.[1]
Tabi’iy pada asalnya berarti pengikut. Dalam ilmu hadits, tabi’in ialah seluruh orang Islam yang hanya bertemu dengan sahabat, berguru kepadanya, tidak bertemu dengan Nabi Saw. dan tidak pula semasa dengan Nabi Saw.
Ibnu Hajar berkata:
التابعي من لقي الصحابي مؤمنا بالإسلام.
“Tabi’iy itu orang yang menjumpai shahaby dalam keadaannya beriman dan mati dalam Islam.”.[2]   

B.      Sunnah Pada Masa Sahabat
Selain  Alquran sebagai sumber pertama hukum Islam, sunnah Rasulullah Saw. menempati urutan kedua sebagai sumber hukum Islam. Hal ini terlihat dengan Sabda Rasulullah Saw. ketika menjelang wafat beliau;
حدثنا سعيد بن عثمان، قال: حدثنا أحمد بن دحيم، قال: حدثنا محمد بن إبراهيم الدؤلي، قال: حدثنا علي بن زيد الفرائضي، قال: حدثنا الحنيني، عن كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف، عن أبيه، عن جده، قال: قال رسول الله, صلى الله عليه وسلم: "تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه, صلى الله عليه وسلم"[3]
Aku meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnah nabi-Nya.

Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul Saw. tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Alquran sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada sunnah Nabi Saw. berarti mengikuti petunjuk Nabi Saw. dan memelihara kemurniannya.
Para sahabat mengetahui kedudukan Sunnah maka mereka berpegang teguh padanya dan mengikuti atsar-atsar Rasulullah Saw.. Mereka tidak mau menyalahi ataupun berpaling dari Sunnah. Karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Saw. karena khawatir berbuat kesalahan dan takut  Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan dan pengubahan.[4] 
 Setelah wafatnya Nabi Saw., Abu Bakar diangkat menjadi khalifah. Komitmen Abu Bakar untuk menegakkan hukum Allah dan Sunnah Rasul Saw. dibuktikan dengan kebijakannya memerangi kaum munafik. Beliau bersumpah bahwa orang yang tidak mau membayar zakat akan diperanginya karena tindakan itu berseberangan dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah Saw. Beliau mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang untuk salah satu tujuan itu, juga karena adanya apresiasi sunnah terhadapnya. Kepengikutan sahabat terhadap Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut, misalnya di dalam pemerintah Umar, Usman, dan Ali.
Secara umum dapat dikemukakan tiga poin penting tentang metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw. Metode tersebut yaitu:
1.      Menyedikitkan Riwayat
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa  Sunnah merupakan sumber syari’at Islam yang utama setelah Alquran. Oleh karena itu, para sahabat menempuh segala cara untuk memeliharanya. Di antara mereka lebih memilih bersikap ‘sedang (tidak banyak dan tidak sedikit) dalam meriwayatkan hadits’ dari Rasulullah Saw., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap ‘sedikit dalam meriwayatkan hadits’.[5]   
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan orang mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim para utusan ke Iraq beliau mewasiatkan supaya mereka mengembangkan segi kebagusan tajwid-nya, serta mencegah mereka memperbanyak riwayat.[6]  
  Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. Abu Hurairah menjawab, “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah umar akan mencambuk saya dengan cambuknya.”[7]   
Sahabat Umar dan sahabat-sahabat lain secara bersama-sama bersikap ketat dalam hal periwayatan untuk memelihara Alquran di samping memelihara  Sunnah. Umar sungguh khawatir manusia sibuk meriwayatkan hadits dengan mengabaikan Alquran, sedangkan Alquran merupakan undang-undang Islam. Maka, beliau menghendaki kaum muslimin menghafal Alquran dengan baik, kemudian memperhatikan hadits yang mulia yang belum dibukukan seluruhnya pada masa Rasulullah Saw., sebagaimana Alquran. Atas dasar inilah, umar menetapkan suatu cara kepada mereka, yaitu keharusan dilakukannya pembuktian ilmiah dan sedikit meriwayatkan hadits karena takut terjatuh dalam kesalahan.[8]
Jadi, para sahabat melakukan hal itu semua karena berhati-hati dalam persoalan-persoalan agama dan memelihara kemaslahatan kaum muslimin, bukan maksud hendak menjauhi hadits Nabi Saw., dan bukan pula bermaksud mengabaikannya. Maka, tidak boleh seseorang menganggap cara yang ditempuh para sahabat dan Umar pada khususnya, sebagai sikap meninggalkan atau menjauhi  Sunnah.      
2.      Berhati-hati dalam Meriwayatkan Hadits
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima   dan memeriksa sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Berikut ini sebagian kabar yang menjelaskan kepada kita tentang jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam menerima kabar;


a.       Pembuktian Abu Bakar terhadap Khabar
عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ ذُؤَيْبٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ الْجَدَّةُ إِلَى أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا فَقَالَ مَا لَكِ فِى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى شَىْءٌ وَمَا عَلِمْتُ لَكِ فِى سُنَّةِ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا فَارْجِعِى حَتَّى أَسْأَلَ النَّاسَ. فَسَأَلَ النَّاسَ فَقَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ حَضَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَعْطَاهَا السُّدُسَ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ مَعَكَ غَيْرُكَ فَقَامَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالَ الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَأَنْفَذَهُ لَهَا أَبُو بَكْرٍ.[9]
Dari Qubaisyah bin Dzuaib bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar untuk meminta (menanyakan) harta warisan untuk dirinya. Abu Bakar menjawab, “Di dalam Alquran saya tidak menemukan sesuatu untuk dirimu, dan saya tidak mengetahui Rasulullah Saw. menyebut sesuatu untuk dirimu”. Kemudian, Abu Bakar bertanya kepada para sahabat yang lain. Al-Mughirah berdiri dan berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw. berkata bahwa ia memberikan seperenam untuknya”. Abu Bakar bertanya kepada al-Mughirah, “Adakah orang lain bersamamu (ketika mendengar sabda Rasulullah Saw. itu)?” Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian. Setelah Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang hal itu maka Abu Bakar memberikan waris nenek itu berdasarkan sabda Rasulullah Saw. itu.

Dengan peristiwa itu, menunjukkan bahwa Abu Bakar sangat berhati-hati dalam menerima kabar.  Bukan bermaksud menutup periwayatan hadits. Dengan demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang telah dilakukan sejak masa Abu Bakar.
b.      Pengukuhan Umar bin Khaththab terhadap Penerimaan Kabar
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ كُنْتُ جَالِسًا بِالْمَدِينَةِ فِى مَجْلِسِ الأَنْصَارِ فَأَتَانَا أَبُو مُوسَى فَزِعًا أَوْ مَذْعُورًا. قُلْنَا مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنَّ عُمَرَ أَرْسَلَ إِلَىَّ أَنْ آتِيَهُ فَأَتَيْتُ بَابَهُ فَسَلَّمْتُ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدَّ عَلَىَّ فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَأْتِيَنَا فَقُلْتُ إِنِّى أَتَيْتُكَ فَسَلَّمْتُ عَلَى بَابِكَ ثَلاَثًا فَلَمْ يَرُدُّوا عَلَىَّ فَرَجَعْتُ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ ». فَقَالَ عُمَرُ أَقِمْ عَلَيْهِ الْبَيِّنَةَ وَإِلاَّ أَوْجَعْتُكَ. فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ لاَ يَقُومُ مَعَهُ إِلاَّ أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ قُلْتُ أَنَا أَصْغَرُ الْقَوْمِ. قَالَ فَاذْهَبْ بِهِ.[10]
Abu Sa’id al-Khudri, Ia berkata, “Saya berada disuatu majelis para sahabat Anshar. Tiba-tiba Abu Musa al-Asy’ari datang, seakan-akan ia sedang dalam ketakutan, kemudian ia berkata, ‘Saya meminta izin (mengucapkan salam) tiga kali hendak masuk ke rumah Umar, saya tidak diizinkan, kemudian saya pulang’. Umar bertanya, ‘Apa yang menghalangimu (masuk kerumahku)?’ Saya (Abu Musa) menjawab, ‘Saya telah meminta izin tiga kali (tetapi) saya tidak diizinkan, kemudian saya kembali karena Rasulullah Saw. bersabda ‘Jika salah seorang diantaramu telah meminta izin tiga kali kemudian ia tidak diizinkan kepadanya maka hendaklah ia kembali’. Umar berkat, ‘Hadirkan saksi atas kebenaran sabda Rasulullah Saw. jika tidak, saya akan menyakitimu’. Kemudian Ubay bin Ka’ab berkata, ‘Tidak ada yang menemaninya (ketika itu) kecuali orang yang paling muda di antara kaum.”  Abu Sa’id berkata, ‘Aku orang yang paling muda diantara mereka’. Maka Ubay berkata, “Maka pergilah (untuk menjadi saksi kepada Umar) dengannya.

Di sini dapat kita lihat, bagaimana kehati-hatian Umar dalam menerima kabar dari sahabat, bahkan dia memberi ancaman akan menyakiti jika Abu Musa tidak bisa menghadirkan saksi dengan apa yang diucapkannya. Tindakan Umar ini mendorong kaum muslimin melakukan  pembuktian ilmiah dengan sebaik-baiknya dan bersikap hati-hati terhadap agama Allah sehingga seseorang tidak bisa dengan mudah mengatakan sesuatu atas nama Rasulullah Saw.. Hal ini tampak jelas pada perkataan Umar r.a. ketika Abu Musa al-Asy’ari pulang bersama Abu Sa’id al-Khudri dan memberikan kesaksian kepadanya. Umar berkata, “Ingat, sesungguhnya saya tidak (bermaksud) mencurigaimu, tetapi saya khawatir manusia berkata-kata atas (nama) Rasulullah Saw..”[11]  
c.       Pembuktian Utsman terhadap Hadits            
عن بسر بن سعيد قال : أتى عثمان المقاعد فدعا بوضوء فتمضمض واستنشق ثم غسل وجهه ثلاثا ويديه ثلاثا ثلاثا ثم مسح برأسه ورجليه ثلاثا ثلاثا ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم هكذا يتوضأ يا هؤلاء أكذاك؟ قالوا نعم، لنفر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم عنده[12]
Diriwayatkan dari Bisr bin Sa’id, ia berkata, “Utsman datang di tempat duduk (suatu lokasi di masjid tempat dia dan para sahabat berwudhu). Ia meminta air lalu berwudhu. Pertama, ia berkumur dan menghirup air ke hidung. Kemudian ia membasuh wajahnya dan membasuh tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu, ia mengusap sebagian kepalanya dan kedua kakinya, masing-masing tiga kali. Selesai berwudhu, ia berkata, ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah Saw. berwudhu. Wahai para sahabat, benarkah demikian wudhu Rasulullah Saw.?’ Mereka menjawab, ‘Ya, sekelompok sahabat Rasulullah Saw. menyaksikan wudhu beliau demikian’.
d.      Pembuktian Ali bin Abi Thalib terhadap Hadits
عن علي رضي الله عنه قال كنت إذا سمعت من رسول الله صلى الله عليه و سلم حديثا نفعني الله بما شاء منه وإذا حدثني عنه غيري استحلفته فإذا حلف لي صدقته وإن أبا بكر رضي الله عنه حدثني وصدق أبو بكر أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم قال : ما من رجل يذنب ذنبا فيتوضأ فيحسن الوضوء قال مسعر ويصلي وقال سفيان ثم يصلي ركعتين فيستغفر الله عز و جل إلا غفر له.[13]
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib r.a., ia berkata, “Jika saya mendengar suatu hadits dari Rasulullah Saw. maka semoga Allah memberi manfaat kepadaku dengan apa yang Dia kehendaki dari hadits itu. Jika orang lain meriwayatkan hadits kepadaku maka saya memintanya bersumpah. Jika dia bersedia bersumpah maka saya membenarkannya. Sesungguhnya Abu Bakar meriwayatkan hadits kepadaku –dan Abu bakar adalah benar- bahwa nabi Saw. bersabda, “Tidaklah seseorang berbuat (suatu) dosa kemudian dia berwudhu, menyempurnakan wudhunya, dan melakukan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla, kecuali Allah akan memberi ampunan kepadanya.  

Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat untuk menerima periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul Saw. Sebaliknya, hal ini bukanlah sikap eksklusif sebagian sahabat atau didasari sikap negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun  yang menggiring logika untuk menyimpulkan ke arah itu.

3.      Para sahabat melarang periwayatan hadits yang belum dapat dipahami Umum

Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, seperti hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz, “Saya membonceng Rasulullah Saw. naik keledai milik beliau yang diberi nama Ufair. Kemudian beliau bertanya,
يا معاذ، أتدري ما حق الله على العباد و ما حق العباد على الله؟ فقلت الله ورسوله أعلم . قال فإن حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا و حق العباد على الله أن لا يعذب من لايشرك به، فقلت: افلا أبشر الناس؟ قال: لا، فيتكلوا
“Hai Muadz, tahukah kamu, apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan apa hak hamba-hamba atas Allah?” Saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak menyekutukan (sesuatu apapun) dengan-Nya”. Saya bertanya, “Apakah saya tidak (perlu) memberi kabar gembira kepada manusia?” Beliau menjawab, “Tidak, (karena khawatir) mereka berpangku tangan (lalai, tidak beramal).[14]
Al-Hasan bin Abi Bakar memberi tahu kami, ia berkata “Abu Ali ath-Thaumari berkata, “Kami berada di samping Abu al-Abbas, yaitu Ahmad bin Yahya Taghlab kemudian seseorang berkata kepada Abu al-Abbas, “Apa arti sabda Rasulullah Saw. kepada Ali bin Abi Thalib, sementara Abu Bakar dan Umar juga menghadap beliau. Beliau bersabda,
هذان سيدا كهول اهل الجنة لاتخبر هما ياعلي
“Dua orang ini (Abu Bakar dan Umar) adalah tokoh yang berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun diantara penghuni surge. Jangan lah kamu memberi tahu kepada keduanya hai Ali.”
Abu al-Abbas menjawab, “Beliau khawatir keduanya (Abu Bakar dan Umar) lalai beramal.”[15]
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah.

C.     Sunnah pada Masa Tabi’in
Pada era tabi’in, keadaan Sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Mereka melakukan pembuktian kebenaran hadits yang disampaikan oleh perawi dengan berbagai cara. Orang yang menelusuri sejarah para perawi dan cara mereka menerima hadits akan mengetahui jerih payah para tabi’in dan para pengikut mereka. Itulah jerih payah mereka untuk meriwayatkan  Sunnah kepada generasi sesudah mereka.
Para tabi’in dan pengikut mereka tidak menetapkan syarat-syarat tertentu dalam menerima riwayat. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mensyaratkan dua orang perawi atau lebih di dalam menerima kabar. Pada prinsipnya, mereka menerima kabar dari semua perawi yang memenuhi persyaratan tahamul ‘menerima kabar’ dan adil, sebagaimana disepakati oleh ulama hadits. Jika seorang perawi tidak memenuhi syarat adil maka semua kabar yang dibawanya akan ditolak.[16]
1.      Masa Keseimbangan dan Meluas Periwayatan Sunnah
Sesudah masa Utsman dan Ali, timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal hadits serta menyebarkan ke masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.
Pada tahun 17 H. tentara Islam mengalahkan Syiria dan Iraq. Pada tahun 20 H. mengalahkan Mesir. Pada tahun 21 H. mengalahkan Persia. Pada tahun 56 H. tentara Islam sampai di Samarqand. Pada tahun 93 H. tentara Islam menaklukkan Spanyol. Para sahabat berpindah ketempat-tempat itu. Kota-kota itu kemudian menjadi “perguruan” tempat mengajarkan Alquran dan al-Hadits yang menghasilkan sarjana-sarjana tabi’in dalam bidang hadits.[17]   
Dalam fase ini, hadits mulai disebarkan dan mulailah perhatian diberikan terhadapnya dengan sempurna. Para tabi’in mulai memberikan perhatian yang sempurna kepada para sahabat. Para tabi’in  berusaha menjumpai para sahabat ke tempat-tempat yang jauh dan memindahkan hafalan mereka sebelum mereka berpulang ke Ar-Rafiq al-‘Ala (sebelum meninggal). Demikian pula berita tentang kunjungan seorang shahaby ke sebuah kota, sungguh menarik perhatian para tabi’in. ketika mengetahui kedatangan seorang shahaby, mereka berkumpul disekitarnya untuk menerima hadits yang ada pada shahaby tersebut.[18]
2.      Tokoh-tokoh  Sunnah di Kalangan Tabi’in
Di antara tokoh-tokoh tabi’in yang masyhur dalam bidang riwayat:
a.       Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab, Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar, dan lainnya.
b.      Di Makkah: Ikrimah, Atha’ ibnAbi Rabah, Abu az-Zubair, Muhammad ibn Muslim.
c.       Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakha’y, Alqamahan-Nakha’y.
d.      Di Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah
e.       Di Syam: Umar ibn Abd al-Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’ab  al-Akbar.
f.       Di Mesir: Abu al-Khair Martsad ibn Abdullah al-Yaziny, Yazid ibn Habib.
g.      Di Yaman: Thaus ibn Kiasan al-Yamany, Wahab ibn al-Munabbih.[19]    


3.      Mulai Timbul Pemalsuan  Sunnah
Tahun 40 H. merupakan batas yang memisahkan antara masa terlepas hadits dari pemalsuan, dengan masa mulai munculnya pemalsuan hadits. Sejak dari timbul fitnah di akhir masa usman, umat Islam pecah menjadi beberapa golongan. Pertama, golongan yang membela Ali bin Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syiah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah. Ketiga, golongan Jumhur (golongan pro pemerintah pada masa itu).
Umat Islam terpecah ke dalam golongan-golongan tersebut. Karena di dorong kepentingan golongan, mereka berupaya mendatangkan keterangan (hujjah) untuk mendukung keberadaan mereka. Maka mereka berupaya membuat hadits-hadits palsu dan menyebarkannya ke masyarakat.
Mulai saat itu terdapatlah diantara riwayat-riwayat itu ada yang shahih dan ada juga yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-mula mereka memalsukan hadits mengenai pribadi-pribadi orang yang mereka agung-agungkan. Yang mula-mula melakukan pekerjaan ini ialah golongan Syiah sebagaimana yang diakui sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dalam kitabnya Syarh Nahju al-Baghdad, dia menulis, “Ketahuilah bahwa asal mula timbul hadits yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi’ah sendiri.” Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Jumhur yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits untuk mengimbangi hadits-hadits yang dibuat oleh golongan Syi’ah itu.
Maka dengan keterangan ringkas ini nyatalah bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu (maudhu’) ialah Baghdad (Iraq) tempat kaum Syi’ah berpusat. Imam Malik sendiri menamakan Baghdad sebagai “pabrik hadits palsu.”[20] 



                                                                                                             


[1]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. ke-3, h. 206
[2]Ibid., h. 217
[3]Abi Umar Yusuf bin Abdullah an-Namiri al-Qurthubi, Jami’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlihi, Juz II, 2003, h. 55
[4]M. Ajaj al-Khatib, “As-Sunnah Qablat-Tadwin”, diterjemahkan oleh AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum di Bukukan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1981), cet. ke-5, h. 124
[5]M. Ajaj al-Khatib, Ibid., h. 124
[6]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 38
[7]Ibid
[8]M. Ajaj al-Khatib, op.cit., h. 128
[9]Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III (Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, tth.), h. 81. Dikutip dari CD al-Maktabah asy-Syamilah
[10]Abul Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim,Juz VI (Beirut: Darul Afaq, tth), h. 6  Dikutip dari CD al-Maktabah asy-Syamilah
[11]M. Ajaj al-Khatib, op.cit., h. 154
[12]Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz 1, (Al-Kahirah: Muassasah Qurthubah, tth.), h. 67. Dikutip dari CD al-Maktabah asy-Syamilah
[13]Ibid., h. 2
[14]M. Ajaj al-Khatib, op.cit., h. 138-139
[15]Ibid  
[16]Ibid., h. 161-162
[17]Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, op.cit., h. 45
[18]Ibid., h. 46
[19]Ibid.
[20]Ibid., h. 50-51