Minggu, 11 April 2010

STRATEGI PEMBELAJARAN

Posted by Eko 09.46, under | No comments

 Stategi belajar mengajar merupakan pola umum perbuatan-guru siswa dalam mewujudkan kegiatan belajar-mengajar. Pengertian strategi dalam halini menunjukkan pada karekteristik abstrak perbuatan guru-siswa dalam peristiwa belajar aktual tertentu.

Strategi adalah suatu rencana tentang cara-cara pendayagunaan dan penggunaan potensi dan sarana yang ada untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi (pengajaran). Dalam strategi terdapat metode belajar mengajar yaitu cara atau jalan untuk mencapai tujuan pengajaran. Dalam mencapai tujuan, terbuka kemungkinan memilih berbagai metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa dan kemampuan guru yang bersangkutan. Dalam strategi belajar mengajar juga terkandung teknik mengajar yaitu pemakaian alat-alat bantu mengajar dan atau cara-cara menggunakan metode mengajar yang relvan dengan tujuan agar dapat memotivasi siswa belajar yang optimal. Di dalam strategi belajar mengajar juga terdapat alat bantu (media) pengajaran. Alat ini digunakan untuk meningkatkn proses pencapaian tujuan dengan cara memperjelas dan mempermudah bahan pelajaran yang dipelajari.

Srategi yang berarti “Rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus” adalah tindakan guru dalam melaksanakan rencana pembelajaran.Artinya, usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pembelajaran (tujuan, bahan, metode, alat dan evaluasi). Dengan kata lain strategi mengajar adalah taktik yang digunakan dalam melaksanakan/praktek mengajar di kelas.Nilai guna yang didapatkan bagi guru adalah agar tercapainya tujuan melalui kegiatan yang terprogram.

Menurut Nana Sudjana dalam bukunya Dasar-dasar Proses Belajar mengajar, bahwa strategi mengajar merupakan tindakan guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran seperti tujuan, bahan, metode dan alat serta evaluasi, agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan yang telah di tetapkan.

Strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau merupakan praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan efisien.Dengan kata lain, strategi mengajar adalah politik atau taktik yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di kelas. Politik atau taktik tersebut harus mencerminkah langkah-langkah yang sistemik, artinya bahwa setiap kompunen pembelajaran harus saling berkaitan satu sama lain dan sistematik yang mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru dalam proses pembelajaran itu tersusun secara rapi dan logis. Sehingga tujuan yang ditetapkan tercapai.

Jumat, 02 April 2010

Inovasi Pendidikan Islam

Posted by Eko 22.06, under | 6 comments

A.   Pengertian Inovasi Pendidikan
Sebelum dijelaskan tentang pengertian inovasi pendidikan terlebih dulu akan dijelaskan arti inovasi secara umum. Kata “inovasi” berasal dari innovation (Inggris) atau tajdid (Arab), sering diterjemahkan sebagai suatu hal yang baru atau pembaharuan, namun ada pula yang menggunakan kata tersebut untuk menyatakan penemuan (invention), karena hal yang baru itu merupakan hasil penemuan. Ada juga yang mengkaitkan antara pengertian inovasi dengan “modernisasi”, karena keduanya membicarakan usaha pembaharuan.
Berdasarkan beberapa pengertian dasar tersebut kata inovasi dapat diartikan sebagai: Suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyaraka) ,baik itu hasil invensi atau discovery.
Sedangkan istilah pendidikan Islam pada umumnya mengacu kepada term at-Tarbiyah, al-Ta’dib dan al-Ta’lim, pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.
Sedangkan secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Jadi yang dimaksud dengan inovasi pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pembaharuan untuk memecahkan masalah di dalam pendidikan Islam. Atau dengan perkataan lain, inovasi pendidikan Islam ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention), atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan Islam.
Pembaharuan atau tajdid dalam Islam atau pendidikan Islam adalah sesuatu yang fitrah atau tabie sifatnya. Islam bukanlah suatu agama yang beku dalam pemikiran dan statik dalam amalan. Dinamika Islam memberikan ruang kepada kreativiti wujud. Kreativiti dalam pemikiran adalah dituntut tanpa menolak faktor syara’. Berfikir reflektif adalah suatu keperluan kerena perubahan hari ini dan hari depan berasaskan cerminan masa lalu supaya wujud kesinambungan antara yang lepas dengan hari ini. Apa yang berlaku pada masa lalu memberikan kita landasan tradisi yang baik. Keupayaan umat Islam mengimbangi faktor perubahan zaman ialah kebijaksanaan menjembatani faktor tradisi yang baik dan cemerlang dengan faktor perubahan kini yang tidak lari dari kerangka fitrah.
B.  Paradigma Pendidikan Islam dan Implikasi Pengembangannya
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge, 1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bias dipahami dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab disebut dengan al-hayah. Makna al-hayah (hidup) adalah al-harakah (bergerak atau gerakan/kegiatan), dan al-harakah adalah al-barkah (bergerak atau beraktivitas yang bias mendatangkan berkah), dan al-barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah (kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan). Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup seseorang harus bias mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak bias dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma perkembangan pendidikan Islam sebagai berikut.
1.     Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dekotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, madrasah dah non madrasah, pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya.
Padangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian.
Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan, pendidikan keislaman dengan pendidikan nonkeislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-dini/pengajaran keagamaan, atau al-ta’lim al-islami/pengajaran keislaman dalam rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).
Karena itu pengembangan pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek keukhrowian saja yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan umum (nonagama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama menjadi fuqaha, sebagai orang-orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka sehingga tidak dimasukkan ke dalam barisan intelektual, juga merupakan implikasi dari pandangan dikotomis tersebut. Menurut Azyumardi Azra (1999, hlm. 159-160) , pemahaman semacam itu muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami masa penjajahan yang sangat penjang, di mana umat Islam mengalami kelatarbelakangan dan disintergrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Baratmemunculkan kaum intelektual baru (cendikiawan sekuler), yang menurut Benda (dalam Sartono Kartodirjo, ed, 1981) sebagian besar kaum intelektual tersebut adalah hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Dalam proses pendidikannya, mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam, sehingga mereka menjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta masalah keduniaan.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula dengan pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap cumitment (keperpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.
Di dalam Islam padahal tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Sehingga menyebabkan kemunduran peradaban Islam serta keterbelakangan sains dan teknologi di dunia Islam. Hal ini terjadi bukan saja karena faktor dari luar tapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari diri umat Islam itu sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai kajian-kajian rasional-empiris atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain, paradigma formisme dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan Islam.
2.    Paradigma Mekanisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), secara etimologis, mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak maka yang lain turut bergerak.
Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipadang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan mesin yang terdiri beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestik, nilai beofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier (Muhaimin, 1995).
Umat Islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai:
a.    Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan
b.    Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama.
c.    Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
d.    Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang berbhaya.
e.    Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
f.    Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan (Muhaimin, 1996).
Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang relegius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaran (mata kuliah) lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier.
3.    Paradigma Organisme
Istilah “organism” dapat berarti: benda hidup (plants, animals and bacteria are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa Pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sitem (yang terdiri atas komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup Islami.
Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islami) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam). Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai insane yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical-linier dengan nilai ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
C.  Inovasi Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Islam Utama
Prof. Dr. Taha Jabir , seorang tokoh ilmuan Islam menyebutkan umat Islam berada di tiga persimpangan. Pertama terus menggunakan ilmu-ilmu yang sifatnya traditional dengan metodologinya sekali. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan authentic atau kekal seaslinya. Kedua, umat Islam berhadapan dengan faktor perubahan zaman yang dikatakan moden yaitu berlakunya dinamika ilmu dikembangkan dengan menggunakan kekuatan metodologi terkini. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan modernistik. Ketiga , umat Islam perlu menyaring asas tradisi, memilih asas-asas prinsipnya dan mengolahnya semula menggunakan pendekatan terkini supaya faktor perubahan berlaku tanpa menghilangkan maksud keaslian dan tradisinya. Ini disebut sebagai pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik belum begitu berkembang dan sering menerima kritik. Pengkritik yang cenderung kepada asas epistemologi atau asas-usul ilmu sering tidak setuju sementara yang lain merasakan suatu kewajaran kerena meskipun metodologinya dinamik, prinsip dan ruh ilmu dan pendidikan tetap tidak berubah.
Hal ini senada dengan salah satu prinsip pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi dalam bukunya Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, “Pendidikan Islam adalah pendidikan yang terbuka”. Hal ini dipahami bahwa Islam merupakan agama Samawi, yang memiliki nilai-nilai absolute dan universal, namun masih mengakui keberadaan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Islam berpandangan, tidak semua nilai yang telah melembagakan dalam satu tata kehidupan masyarakat, diterima atau ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tata nilai masyarakat, di dasarkan pada lima macam klasifikasi yaitu:
1)    Memilihara unsure-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif
2)   Menghilangkan unsure-unsur nilai dan norma yang sudahmapan tetapi negatif.
3)   Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan dianggap positif
4)   Bersikap menerima (receptive), memilih (selective), mencerna (digestive), menggabung-gabungkan dalam satu system (assimilative), dan menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai pada umumnya.
Jadi pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokrasi dan universal. Tetapi keterbukaan pendidikan Islam bukan berarti tidak disertai dengan fleksibelitas untuk mengadopsi (menyerap) unsur-unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kepentingan masyarakatnya, dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang orginal (shahih) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hal ini ditulis dalam sebuah postulat yang popular المحافظة على القديم الصالح، والأخذ بالجديد الأصلح. “Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih positif”. Keterbukaan seperti inilah yang memungkinkan pembharuan (inovasi) dalam pendidikan Islam, bukan saja karena tuntutan zaman, tetapi bersamaan dengan itu pembaharuan diperlukan karena hajat untuk memperbaiki kemaslahatan kaum muslimin sendiri.
Berdesarkan fenomena di atas maka perlu adanya gagasan baru/pembaharuan (inovasi) pendidikan Islam di Indonesia dalam masa yang akan datang antara lain: perlu mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Jadi kita harus mau meninggalkan yang sudah idak sesuai (relevan) dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu perlu adanya tawaran gagasan-gagasan untuk menata ulang pemikiran sistem pendidikan nasional. Meskipun pendidikan mempunyai banyak nama dan wajah, seperti pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, program deploma, dan lainnya, namun pada hakekatnya pendidikan adalah mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain bahwa hakekat pendidikan adalah mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat manusia atau humanizing human, yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Oleh kerena itu berikan ruang lebih banyak bagi sekolah (khususnya swasta) dan madrasah untuk mengembangkan jati diri dan menempuh cita-citanya.
DAFTAR PUSTAKA
Masyhud, M. Sulthon,  et.al, Manajemen Pondok Pesantren. Cet II.  Jakarta: Diva Pustaka, 2005.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar,  Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press, t.th
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Cet ke- III.  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Mukhtar, Maksum,  Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Cet III. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Hasan , Muhammad Tholchah , Islam dalam Perspektif Sosial Budaya. Jakarta: Galasa Nusantara, 1987
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawal Pers, 1996
Departemen Agama RI, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.  Jakarta, 2005