Minggu, 19 Juni 2011

Makruh Pekerjaannya, Tapi Wajib Melaksanakannya

Posted by Eko 04.33, under | 2 comments

Pada postingan kali ini saya akan berbagi kepada sobat sekalian tentang permasalahan nazar. Benarkah bernazar itu hukumnya makruh? Sebelum kita memasuki  pokok permasalahan, ada baiknya penulis uraikan terlebih dahulu tentang pengertian nazar itu sendiri.      
“Apabila saya mendapatkan pekerjaan maka gajih pertama yang saya dapat akan saya sumbangkan kepada panti asuhan”.
“Apabila saya lulus dalam UAN bulan ini maka saya akan puasa selama 5 hari”.
“Kalau saya menang dalam pertandingan ini maka saya akan bersedekah kepada 10 orang fakir miskin”

Di dalam Islam pernyataan-pernyataan di atas disebut sebagai  nazar. Nadzar secara bahasa berarti mengharuskan. Sedangkan nadzar secara istilah syariat dapat diartikan sebagai perbuatan seorang mukalaf (orang yang telah terbebani syari’at) yang mengharuskan dirinya dengan satu bentuk ibadah, yang mana sesuatu itu pada asalnya tidak wajib atas orang tersebut. Seperti contoh di atas, seseorang berjanji akan  menyumbangkan/menyedekahkan gaji pertamanya kepada panti asuhan ketika dia memperoleh pekerjaan. Pada asalnya bersedekah/sumbangan merupakan perkara yang tidak wajib, namun ketika orang tersebut meikrarkan/bernazar dengan sumbangan itu maka secara langsung sedekah atau sumbangan itu menjadi wajib apabila dia memperoleh pekerjaan. Hal ini disebabkan karena menunaikan nazar di dalam islam merupakan kewajiban. Allah Swt. berfirman:
...وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ ...
“…dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka…” (Q.S. Al-Hajj: 29).
Allah Swt. mencela orang-orang yang bernazar tetapi tidak melaksanakannya.
وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ آتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ . َلَمَّا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ. فَأَعْقَبَهُمْ نِفَاقًا فِي قُلُوبِهِمْ إِلَى يَوْمِ يَلْقَوْنَهُ بِمَا أَخْلَفُوا اللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ  
“Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”. (Q.S. At-Taubah: 75-77).
Imam Abu Daud meriwayatkan bahwa pernah ada seorang wanita datang kepada nabi Saw. seraya berkata, “Sesungguhnya saya bernazar hendak memukul kepalamu dengan rebana (untuk menunjukkan kesenangan dan kegembiraan).” Lalu beliau bersabda kepada wanita itu; “Penuhilah nazarmu itu”.
Yang jadi pertanyaan sekarang, apakah hukumnya bernazar dalam Islam? Kemudian, isi nazar yang bagaimana yang dibenarkan?
Pertama, hukum bernazar  menurut kebanyakan para ulama yaitu makruh, walaupun apa yang dinazarkan itu merupakan ibadah, seperti salat, puasa, dan sedekah. Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan lainnya dari Ibnu Umar, yang berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّذْرِ وَقَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
Rasulullah Saw. melarang bernazar seraya bersabda:’Sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak sesuatu, dan nazar itu hanya keluar dari orang yang bakhil.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
النَّذْرُ لاَ يَأْتِى بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar itu tidak dapat mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya dia hanya keluar dari orang yang bakhil.”
Hikmah tidak disukainya (dimakruhkannya) nazar itu ialah karena dikhawatirkan sebagian manusia beri’tiqad bahwa nazar itu dapat menolak takdir, atau mereka mengira bahwa nazar itu dapat memastikan keberhasilan apa yang diinginkannya, atau menganggap bahwa Allah akan mewujudkan keinginannya karena nazarnya itu. Karena itu, dalam hadis tersebut Rasulullah Saw. mengatakan: “Sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak sesuatu atau tidak dapat mendatangkan kebaikan”.
Ada bahaya lain yang tergambar dalam nazar yang meminta balasan, seperti perkataan orang bernazar, “Jika Allah memberikan saya anak laki-laki, atau jika Allah menyembuhkan anak saya, maka saya akan bersedekah kepada orang-orang fakir, atau saya akan membangun masjid, dan sebagainya”. Nazar ini bermakna bahwa ia menggantungkan perbuatan qurbah tersebut seperti bersedekah kepada orang fakir dan membangun masjid atas keberhasilan tujuan pribadinya, yang apabila tujuannya tidak berhasil maka ia tidak bersedekah dan tidak membangun masjid.            
Ini menunjukkan bahwa niat dalam bertaqarrub kepada Allah tidak ikhlas dan tidak murni. Keadaan seperti ini sebenarnya ialah keadaan orang bakhil yang tidak mau mengeluarkan sebagian hartanya kecuali jika mendapatkan ganti yang lebih besar dari yang ia bayar. Karena itulah dalam hadis tersebut Rasulullah Saw. mengatakan:
وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Sebenarnya apa yang dikeluarkan dengan nazar itu adalah dari orang yang bakhil”
Rahasia lain dimakruhkannya bernazar ialah karena ia dapat memberatkan hati dan memilih-milih alternative dalam melaksanakannya, yang kadang-kadang timbul keengganan, rasa kikir, atau hawa nafsunya, lalu tidak memenuhinya. Dan kadang-kadang dilaksanakannya dengan rasa terpaksa dan berat hari setelah tidak ditemukannya alternatif lain.
Namun, meski bagaimanapun dikatakan bahwa bernazar itu makruh, para ulama telah sepakat (ijtima’) bahwa melaksanakan nazar adalah wajib, dan terdapat dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As Sunnah yang mencela orang-orang yang tidak melaksanakan nazarnya.
Kedua, isi nazar yang benar adalah qurbah (pendekatan diri) kepada Allah, seperti sedekah, shalat, puasa, amal-amal kebaikan dan sebagainya. Hal ini seperti yang ditunjukkan dalam hadis yang berbunyi:
لاَ نَذْرَ إِلاَّ فِيمَا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ تعالى. (رواه احمد رأبو داود)
“Tidak ada nazar kecuali pada sesuatu yang dapat diperoleh ridha Allah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sebagian imam berpendepat bahwa nazar itu bila tidak berupa amalan yang mendekatkan diri kepada Allah tidak dianggap nazar, misalnya bernazar untuk melakukan sesuatu yang mubah.

2 komentar:

Posting Komentar