Kamis, 22 Desember 2011

I'Jaz al-Lughawi dan I'jaz al-Tasyri'i

Posted by Eko 23.52, under | 3 comments


   A.  Pengertian I’jaz al-Qur’an
Dari segi bahasa, kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu. Al-‘ajzu yang secara harfiyah antara lain berarti lemah,tidak mampu, tidak berdaya. Lawan kata dari al-qudroh yang berati sanggup, mampu atau kuasa. I’jaz yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu ini,sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Al-Maidah ayat 31:
قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْأَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ  

Artinya: ”...mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini.” ( QS. Al-maidah : 31).

Secara normatif, i’jaz adalah ketidak mampuan seseorang melakukan sesuatu yang merupakan lawan ketidakberdayaan. Oleh karena itu, apabila kemukjizatan itu telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mukjizat.
Sedangkan yang dimaksud dengan i’jaz, secara terminology ilmu al-Qur’an adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut:
1.     Manna al-Qathan; “I’jaz (kemukjizatan) adalah menampakkan kebenaran nabi  Saw.-dalam pengakuan orang lain-sebagai seorang rasul utusan Allah Swt. dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menandinginya atau menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qur’an dan kelemahan-kelemahan generasi sesudah mereka.[1]
2.    Muhammad Bakar Ismail; “I’jaz (mukjizat) adalah perkara luar biasa yang disertai-dan diikuti-dengan tantangan yang diberikan oleh Allah Swt. kepada nabi-nabi-Nya sebagai hujjah dan bukti yang kuat atas misi dan kebenaran terhadap apa yang diembannya, yang bersumber dari Allah Swt.[2] 
3.    Muhammad Ali al-Shabuny; “I’jaz ialah menetapkan kelemahan manusia baik secara kelompok maupun bersama-sama untuk menandingi hal yang serupa dengannya, maka mukjizat merupakan yang datangnya dari Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-Nya untuk memperkuat kebenaran misi kerasulan dan kenabiannya.[3]
Dari ketiga definisi di atas dapat dipahami antara i’jaz dan mukjizat itu dapat diakatakan searti, yakni melemahkan. Hanya saja pengertian i’jaz di atas mengesankan batasan yang lebih bersifat spesifik, yaitu hanya al-Qur’an. Sedangkn pengertian mukjizat, mengesankan batasan yang lebih luas, yakni bukan hanya berupa al-Qur’an, tetapi juga perkara-perkara lain yang tidak mampu dijangkau oleh segala daya dan kemampuan manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, dalam konteks ini antara pengertian i’jaz dan mukjizat itu saling isi mengisi dan saling lengkap melengkapi, sehingga dari batasan-batasan tersebut tampak dengan jelas keistimewaan dari ketetapan Allah yang khusus diberikan kepada Rasul-rasul pilihan-Nya, sebagai salah satu bukti kebenaran misi kerasulan yang dibawa itu.   

B.  I’jaz al-Lughawi (Mukjizat dari Segi Bahasa)
Dari segi kebahasaan (lughawi) dan kesastraannya al-Qur`an mempunyai gaya bahasa yang khas yang sangat berbeda dengan bahasa masyarakat Arab, baik dari pemilihan huruf dan kalimat yang keduanya mempunyai makna yang dalam. Usman bin Jinni(932-1002) seorang pakar bahasa Arab -sebagaimana dituturkan Quraish Shihab- mengatakan bahwa pemilihan kosa kata dalam bahasa Arab bukanlah suatu kebetulan melainkan mempunyai nilai falsafah bahasa yang tinggi.
Kalimat-kalimat dalam al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya.
Kehalusan bahasa dan uslub al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balagoh dan fasohahnya, baik yang konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor (Allah) dan penikmat (umat).
Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam bukunya Stilistika al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam al-Qur`an dan penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut –dengan mengutip Az-Zarqoni- keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun, mad dan ghunnah (nasal). Dari paduan ini bacaan al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik atau irama lagu yang mengagumkan.
Perpindahan dari satu nada ke nada yang lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam. Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan al-Qur`an mempunyai purwakanti (asonasi) beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya dalam surat Al-Kahfi (18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan yang bervariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan mengira Muhammad berpuisi.
Terkait dengan nada dan lagam bahasa ini, Quraish Shihab mngutip pendapat Marmaduke -cendikiawan Inggris- ia mengatakan bahwa al-Qur`an mempunyai simponi yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita. Misalnya dalam surat An-Naazi’at ayat 1-5. Kemudian dilanjutkan dengan lagam yang berbeda ayat 6-14, yang ternyata perpaduan lagam ini dapat mempengaruhi psikologis seseorang.
Selain efek fonologi terhadap irama, juga penempatan huruf-huruf al-Qur`an tersebut menimbulkan efek fonologi terhadap makna, contohnya sebagaimana dikutip Shihabuddin Qulyubi dalam bukunya Najlah “Lughah al-Qur`an al-karim fi Juz ‘amma”, bunyi yang didominasi oleh jenis konsonan frikatif (huruf sin) memberi kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, demikian pula pengulangan dan bacaan cepat huruf ra’ pada QS. An-Naazi’at menggambarkan getaran bumi dan langit. Contoh lain dalam surat Al-Haqqah dan Al-Qari’ah terkesan lambat tapi kuat, karena ayat ini mengandung makna pelajaran dan peringatan tentang hari kiamat.
Dari pemilihan kata dan kalimat misalnya, al-Qur`an mempunyai sinonim dan homonym yang sangat beragam. Contohnya kata yang berkaitan dengan perasaan cinta. علق diungkapkan saat bertatap pandang atau mendengar kabar yang menyenangkan, kemudian jika sudah ada perasaan untuk bertemu dan mendekat menggunakan ميل, seterusnya bila sudah ada keinginan untuk menguasai dan memiliki dengan ungkapan مودة, tingkat berikutnya محبة, dilanjutkan dengan خلة, lalu الصبابة , terus الهوى , dan bila sudah muncul pengorbanan meskipun membahayakan diri sendiri namanya العشق , bila kadar cinta telah memenuhi ruang hidupnya dan tidak ada yang lain maka menjadi التتيم , yang semua itu bila berujung pada tarap tidak mampu mengendalikan diri, membedakan sesuatu maka disebut وليه . yang semua kata-kata tersebut mempunyai porsi dan efek makna masing-masing.
Meminjam bahasanya Sihabuddin disebut lafal-lafal yang tepat makna artinya pemilihan lafal-lafal tersebut sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalnya, dalam menggambarkan kondisi yang tua renta (Zakaria) dalam QS. Maryam: 3-6, Wahanal ‘Azmu minni bukan Wahanal lahmu minni. Juga Wasyta’alar-ra’su syaiba (uban itu telah memenuhi kepala) bukan Wasyta’alas- syaibu fi ra’si (uban itu ada di kepala).
Selain itu keseimbangan redaksi Al-Qur`an telah membuat takjub para pemerhati bahasa, baik keseimbangan dalam jumlah bilangan kata dengan antonimnya, jumlah bilangan kata dengan sinonimnya, jumlah kata dengan penyebabnya, jumlah kata dengan akibatnya, maupun keseimbangan-keseimbangan yang lain(khusus). Misalnya الحياة (hidup) dan الموت  (mati) masing-masing sebanyak 145 kali. النفع (manfaat) dan الفساد (kerusakan) sebanyak 50 kali dan seterusnya.
Kata dan sinonimnya misalnya, الحرث dan الزراعة sebanyak 14 kali,العقل dan النور sebanyak 49 kali dan lain sebagainya. Kata dengan penyebabnya misalnya, الاسرى  (tawanan) dan الحرب (perang) sebanyak 6 kali, السلام dan الطيبات (kebaiakan) sebanyak 60 kali dan lain-lainnya. Kata dan akibatnya contohnya, الزكاة (zakat) dan البركات  (berkah) sebanyak 32 kali,الانفاق (infak) dan الرضا (rida) sebanyak 73 kali.
Secara umum Said Aqil merangkum keistimewaan al-Qur`an sebagai berikut:
-          Kelembutan al-Qur`an secara lafziyah yang terdapat dalam susunan suara dan keindahan bahasa.
-          Keserasian al-Qur`an baik untuk orang awam maupun cendekiawan.
-          Sesuai dengan akal dan perasaan, yakni Al-Qur`an memberi doktrin pada akal dan hati, serta merangkum kebenaran serta keindahan sekaligus.
-          Keindahan sajian serta susunannya, seolah-olah suatu bingkai yang dapat memukau akal dan memusatkan tanggapan dan perhatian.
-          Keindahan dalam liku-liku ucapan atau kalimat serta beraneka ragam dalam bentuknya.
-          Mencakup dan memenuhi persyaratan global(ijmali) dan terperinci (tafsily).
-          Dapat memahami dengan melihat yang tersurat dan tersirat.[4]
Sejarah telah menyaksikan bahwa bangsa Arab pada saat turunnya al-Quran telah mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa satu pun yang ada didunia ini, baik sebelum dan seudah mereka dalam bidang kefashihan bahasa (balaghah). Mereka juga telah merambah jalan yang belum pernah diinjak orang lain dalam kesempurnaan menyampaikan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam bahasa dan seni sastra, karena sebab itulah al-Quran menantang mereka. Padahal mereka memiliki kemampuan bahasa yang tidak bisa dicapai orang lain seperti kemahiran dalam berpuisi, syi’ir atau prosa (natsar), memberikan penjelasan dalam langgam sastra yang tidak sampai oleh selain mereka. Namun walaupun begitu mereka tetap dalam ketidakberdayaan ketika dihadapkan dengan al-Quran.[5]
Selanjutnya apabila ketidakmampuan bangsa Arab telah terbukti sedangkan mereka mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra, maka terbukti pulalah kemukjizatan al-Quran dalam segi bahasa dan sastra dan itu merupakan argumenatasi terhadap mereka maupun terhadap kaum-kaum selain mereka. Sebab dipahami bahwa apabila sebuah pekerjaan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidangnya tentunya semakin jauh lagi kemustahilan itu bisa dilakukan oleh mereka yang tidak ahli dibidangnya.[6]
Al-Qur’an secara tegas menantang semua sastrawan dan para orator Arab untuk menandingi ketinggian al-Qur’an, baik dari segi bahasa maupun susunannya. Namun tidak seorangpun dari mereka yang menjawab tantangan al-Qur’an tersebut. Sebab al-Qur’an memang berada di atas kemampuan manusia dan tidak mungkin untuk dapat ditandingi, apalagi diungguli, karena al-Qur’an itu sendiri bukanlah perkataan atau kalam manusia.[7]    
 Kekaguman pakar-pakar sastrawan dan orator terhadap ketinggian bahasa dan sastra yang dibawa oleh al-Qur’an terbukti dengan jelas pada keindahan sastra dan kehalusan ungkapan bahasa yang terkandung di dalamnya, kendatipun mereka itu menentang dan memusuhi al-Qur’an serta Nabi Muhammad Saw. Kenyataan ini dapat direkam dan dilihat pada beberapa kasus dan pengakuan mereka berikut ini:
1.      Menurut riwayat, al-Walid al-Mughirah, seorang tokoh Quraisy terkemuka pada saat itu, pernah berkunjung kepada Rasulullah Saw., kemudian beliau membaca al-Qur’an dihadapannya, lalu ia menampakkan rasa simpatinya kepada al-Qur’an. Kejadian ini lalu diketahui oleh Abu Jahal, kemudian Abu jahal berkata kepadanya; “Hai paman, apakah engkau hendak menghimpun harta kekayaan, sehingga engkau mendatangi Muhammad untuk memperoleh sesuatu daripadanya? Al-Walid pun menjawab, “Seseungguhnya seluruh suku Quraisy sudah mengetahui bahwa akulah yang paling kaya di antara mereka”. Kemudian Abu Jahal  berkata, “Kalau begitu, katakan sesuatu untuk meyakinkan kaummu, bahwa engkau mengingkari bacaan Muhammad itu”. Lalu al-Walid menjawab, “Aku bingung apa yang harus kukatakan. Demi Allah, tidak ada yang lebih mengerti dari aku diantara kalian tentang  syi’ir baik rijaznya, qasyidahnya maupun segala macam dans egala jenis syi’ir yang halus dan indah. Demi Allah! Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syi’ir, bukan sihir dan bukan pula kata-kata tukang sihir atau tukang ramal seperti yang dikatakan orang selama ini. Sesungguhnya al-Qur’an itu ibarat sebuah pohon yang rindang, akarnya terhujam dalam tanah, susunan kata-katanya amat manis dan sangat enak didengar. Itu bukan kata-kata manusia. Ia sangat tinggi dan tidak ada yang dapat menandingi dan mengatasainya.[8]     
2.      Utbah bin Rabi’ah, salah seorang pemuka dan pemimpin Quraisy, ia mengatakan kepada Abu Jahal, bahwa ia dapat mengimbangi dan membujuk Muhammad untuk keluar dari agamanya. Kemudian ia berkata kepada Nabi Muhammad Saw. “Siapakah yang paling baik, anda atau Bani Hasyim, anda atau abdul Muthalib, anda atau Abdullah? Mengapa anda mencaci tuhan-tuhan kami dan menyatakan semua kami ini sesat? Katakanlah, kalau anda menginginkan kekuasaan, anda akan kami angkat sebagai pemimpin kami, kalau anda ingin perempuan, kami akan menyerahkan perempuan mana yang anda inginkan, kalau anda ingin harta, kami bersedia untuk menghimpunnya sehingga anda akan menjadi orang yang paling kaya di antara kami”. Setelah dia selesai berbicara Rasulullah Saw. Menjawab, “Sudah selesaikan anda berbicara? Kalau sudah, perhatikanlah!” Lalu beliau membaca al-Qur’an surat al-Fusilat ayat 1-13. Mendengar ayat itu, Utbah pun terpesona dan termangu-mangu dengan keindahan gaya bahasanya, kemudian ia minta dengan tulus agar Rasulullah Saw. tidak melanjutkan bacaannya, sambil terkesima ia kembali kepada kaumnya, tanpa mengatakan sesuatu sedikitpun. Setelah dihujani pertanyaan oleh kaumnya, secara jujur ia menyatakan, “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syi’ir, bukan sihir dan bukan tukang ramal. Aku minta dengan sangat agar Muhammad tidak melanjutkan bacaannya supaya kalian tidak terkena azab. Dan kalianpun mengetahui bahwa apabila Muhammad berbicara sama sekali tidak pernah berdusta…”.[9]       
3.      Nadlar bin Harits juga salah seorang pembesar Quraisy yang sangat membenci Islam, pada suatu hari setelah ia mendengar ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan Nabi Muhammad Saw., ia berkata kepada kaumnya; “Hai kaumku, sesungguhnya kalian telah mengetahui, bahwa aku belum pernah meninggalkan sesuatu, melainkan mesti aku mengetahui dan membacanya serta mengatakan lebih dahulu kepada kalian. Demi Allah, sungguh aku telah mendengar sendiri bacaan yang biasa diucapkan oleh Muhammad. Demi Allah, aku sama sekali belum pernah mendengar perkataan seperti itu. Itu bukan syi’ir, bukan sihir dan bukan pula ramalan.[10]        
         Itulah beberapa kasus atau kejadian yang membuktikan bahwa para ahli syi’ir Arab bungkam tak berdaya dengan tantangan-tantangan yang ditampilkn Al-Qur’an. Mereka tidak bisa menandingi kemahaindahan dan ketinggian ayat al-Qur’an dengan gubahan kreasi-kreasi syi’ir mereka. Setiap kali mereka mencoba untuk menandingi, mereka selalu mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan selalu mendapat cemoohan dan penghinaan dari masyarakat.
Diantara pendusta dan musyrik Arab pada saat itu, yang mencoba berusaha menandingi al-Qur’an ialah Musailamah al-Kadzdzab. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur’an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur’an itu adalah antara lain:
يَاضِفْدَعُ بِنْتُ ضِفْدَعَيْنِ نَقِّيْ مَاتُنَقِيْنَ أَعْلاَكِ فِى اْلمَاءِ وَأَسْفَلُكِ فِى الطِّيْنِ.
Artinya:
“Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”.
   

Menanggapi gubahan Musailamah al-Kadzdzab tersebut, al-Jahiz seorang sastrawan terkemuka, dalam karyanya “al-Hayawan” memberikan komentar dengan mengatakan’ “Saya tidak mengerti apa yang menggerakkan hati Musailamah al-Kadzdzab menyebut katak dan sebagainya itu. Alangkah kotor gubahan yang dikatakannya sebagai ungkapan yang sama dengan ayat al-Qur’an, yang dia katakannya diturunkan kepadanya sebagai wahyu.”[11]    
Selain Musailamah al-Kadzdzab, masih banyak lagi tokoh-tokoh masyarakat Arab pada waktu itu yang ingin menandingi kalam Allah itu, namun selalu mengalami kegagalan sehingga benarlah al-Qur’an itu sebagai suatu mukjizat.

C.  I’jaz al-Tasyri’i (Kemukjizatan dari Segi Hukum)
Dalam sejarah kehidupannya, manusia telah banyak mengenal berbagai macam doktrin, pandangan hidup, sistem dan perundang-undangan yang bertujuan membangun hakikat kebahagiaan individu di dalam masyarakat. Namun tidak satupun daripadanya yang dapat mencapai seperti yang dicapai al-Qur’an dalam kemukjizatan tasyri’-nya.[12]
  Tak kalah menakjubkan lagi ketika al-Qur`an berbicara tentang hukum (tasyri’) baik yang bersifat individu, sosial (pidana, perdata, ekonomi serta politik) dan ibadah. Sepanjang sejarah peradaban umat, manusia selalu berusaha membuat hukum-hukum yang mengatur sekaligus sebagai landasan hidup mereka dalam kehidupan mereka. Namun demikian hukum-hukum tersebut selalu direkonstruksi diamandement bahkan dihapuskan sesuai dengan tingkat kemajuan intelekstualitas dan kebutuhan dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks. Perkara ini tak berlaku pada al-Qur`an. Hukum-hukum al-Qur`an selalu kontekstual berlaku sepanjang hayat, dimanapun dan kapanpun karena al-Qur`an datang dari Zat yang Maha Adil lagi Bijaksana.
Dalam menetapkan hukum al-Qur`an menggunakan cara-cara sebagai berikut;
Pertama, secara mujmal. Cara ini digunakan dalam banyak urusan ibadah yaitu dengan menerangkan pokok-pokok hukum saja. Demikian pula tentang mu’amalat badaniyah al-Qur`an hanya mengungkapkan kaidah-kaidah secara kuliyah. sedangkang perinciannya diserahkan pada as-Sunah dan ijtihad para mujtahid.
Kedua, hukum yang agak jelas dan terperinci. Misalnya hukum jihad, undang-undang peranghubungan umat Islam dengan umat lain, hukum tawanan dan rampasan perang. Seperti QS. al-Taubah 9:41:
 انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Ketiga, jelas dan terpeinci. Diantara hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang QS. Al-Baqarah,2:282. Tentang makanan yang halal dan haram, QS. An-Nis` 4:29. Tentang sumpah, QS. An-Nahl 16:94. Tentang perintah memelihara kehormatan wanita, diantara QS. Al-Ahzab 33:59. dan perkawinan QS. An-Nisa` 4:22.
Yang menarik diantara hukum-hukum tersebut adalah bagaimana Tuhan memformat setiap hukum atas dasar keadilan dan keseimbangan baik untuk jasmani dan rohani, individu maupun sosial sekaligus ketuhanan. Misalnya shalat yang hukumnya wajib bagi setiap muslim yang sudah aqil-balig dan tidak boleh ditinggalkan atau diganti dengan apapun.
Dari segi gerakan banyak penelitian yang ternyata gerakan shalat sangat mempengaruhi saraf manusia, yang intinya kalau shalat dilakukan dengan benar dan khusuk (konsentrasi) maka dapat menetralisir dari segala penyakit yang terkait dengan saraf, kelumpuhan misalnya.
Juga shalat yang kusuk merupakan bentuk meditasi yang luar biasa, sehingga apabila seseorang melakukan dengan baik maka jiwanya akan selamat dari goncangan-goncangan yang mengakibatbatkan sters hingga gila.
Dalam konteks sosial shalat mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar seperti dijelaskan dalam QS. Al-‘Ankabut 29:45:

Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Contoh lain misalnya al-Qur`an Ali Imran [2;159] yang menanamkan sistem hukum sosial dengan berdasar pada azaz musyawarah.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat di atas menganjurkan untuk menyelesaikan semua problem sosial dengan azaz musyawarah agar dapat memenuhi keadilan bersama dan tidak ada yang dirugikan. Nilai yang dapat diambil adalah bagaimana manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan kelompoknya, karena hasil keputusan dengan musyawarah adalah keputusan bersama. Dengan demikian keutuhan masyarakat tetap terjaga. Ayat selanjutnya apabila sudah sepakat dan saling bertanggung jawab maka bertawakkal kepada Allah. Hal ini mengindikasikan harus adanya kekuasaan mutlak yang menjadi sentral semua hukum dan sistem tata nilai manusia.
Demikianlah karakteristik sekaligus rahasia hukum-hukum Tuhan yang selalu menjaga keadilan dan keseimbangan baik individu, sosial dan ketuhanan yang tak mungkin manusia mampu menciptakan hukum secara kooperatif dan holistik. Oleh karena itu tak salah bila seorang Rasyid Rida -sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab- mengatakan dalam Al-Manarnya bahwa petunujuk al-Qur`an dalam bidang akidah, metafisika, ahlak, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan agama, sosial, politik dan ekonomi merupakan pengetahuan yang sangat tinggi nilainya. Dan jarang sekali yang dapat mencapai puncak dalam bidang-bidang tersebut kecuali mereka yang memusatkan diri secara penuh dan mempelajarinya bertahun-tahun. Padahal sebagaimana maklum Muhammad sang pembawa hukum tersebut adalah seorang Ummy dan hidup pada kondisi di mana ilmu pengetahuan pada masa kegelapan.[13]

  


[1]Manna al-Qathan, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an” diterjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2010), cet. Ke-10, h. 323
[2]Muhammad Bakar Ismail, Dirasat fi Ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Manar, 1991), h. 395  
[3]Muhammad Ali al-Shabuny, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut: Dar al-Irsyad, 1970), h. 91   
[4]Ade Sanjaya,  Kemukjizatan Al-Quran dari Aspek Bahasa dan Sastra, http://aadesanjaya.blogspot.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2011  
[5]Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 331
[6]Muhammad Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Quran, Juz III, (Mesir: Isa Al-Babi Al-Himabi, t.t.) h. 332
[7]Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Sukses Ofset, 2009), h. 300
[8]Muhammad Ali al-Shabuny, op.cit., h. 104
[9]Al-Zamakhsyary, Tafsir al-Kassyaff, Juz IV. (Kairo: Dar al-Ilmi, t.th), h. 192
[10]Munawar Khalil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, (Semarang: Ramadani, t.th), h. 67
[11]Muhammad Bakar Ismail, op.cit., h. 409
[12]Manna al-Qathan, op.cit., h.345 
[13]Ade Sanjaya,  Kemukjizatan Al-Quran dari Aspek Tasyri’ (Hukum), http://aadesanjaya.blogspot.com, diakses pada tanggal 21 Desember 2011

3 komentar:

Syukron wa Jazakumullahu khairan, postingannya sgt membantu pemahaman ttg materi I'jazul Qur`an

Jazakumullahu khairan atas materi tentang I'jazul Qur'an.
Sangat membantu:)

Pelajaran dan pendidikan akhlak sangat penting bagi pelajar muslim di seluruh Indonesia. Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
jelaskan pengertian mukjizat dan irhas Sejarah diturunkannya Al Quran Ufa Bunga SMartphone

Posting Komentar