Minggu, 07 November 2010

FILSAFAT ILMU

Posted by Eko 02.09, under | No comments

EPISTEMOLOGI EMPIRISME

A. Pengertian Epistimologi Empirisme

Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu; episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih terperinci epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan.[1]

Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.[2]

Dalam rumusan lain juga disebutkan bahwa epistimologi adalah cabang filsafat yang mempelajari soal tentang watak, batas-batas dan berlakunya ilmu pengetahuan; demikian rumusan yang diajukan oleh J.A.N. Mulder. Sebenarnya banyak ahli filsafat maupun sarjana filsafat yang merumuskan tentang epistimologi atau filsafat pengetahuan.

Apabila keseluruhan rumusan tersebut direnungkan maka dapat dipahami bahwa prinsipnya epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat metode dan keahlian pengetahuan. Oleh karena itu sistematika penulisan epistimologi adalah terjadinya pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah dan aliran-aliran teori pengetahuan.[3]

Adapun Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris empiricism dan experience. Kata-kata ini berakar dari kata bahasa Yunani empeiria dan dari kata experieti yang berarti “berpengalaman dalam”, “berkenalan dengan”, “terampil untuk”. Empirisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau parsial didasarkan kepada pengalaman yang menggunakan indera.

Selanjutnya secara terminologis terdapat beberapa definisi mengenai Empirisme, di antaranya: doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari dalam pengalaman, pandangan bahwa semua ide merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami, pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal.

Menurut aliran ini adalah tidak mungkin untuk mencari pengetahuan mutlak dan mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita terdapat kekuatan yang dapat dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih lambat namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang besar untuk benar, meskipun kepastian mutlak tidak akan pernah dapat dijamin.

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri. Jika kita mengatakan kepada dia bahwa seekor harimau di kamar mandinya, pertama dia minta kita untuk menjelaskan bagaimana kita dapat sampai kepada kesimpulan tersebut. Jika kemudian kita mengatakan bahwa kita melihat harimau tersebut di dalam kamar mandi, baru kaum empiris akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita, namun dia hanya akan menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri.[4]

Pada dasarnya empirisme sangat bertentangan dengan rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

Seorang yang beraliran empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali, dan apa yang tidak dapat dilacak bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut.

Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.

Berbeda dengan rasionalisme dengan titik tumpu pengetahuan berdasarkan rasio yang memang menempel secara alami, maka kita akan menemukan perbedaan tajam dengan aliran yang satu ini, yaitu empirisme. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia berdasakan pengalaman. Atau meminjam kata-kata John Locke, salah satu tokohnya yaitu: ”Manusia itu ibarat tabula rasa yang nantinya akan diwarnai oleh keadaan eksternalnya…”.

Awal muasal dari timbulnya aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di daratan Eropa menginspirasi dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri yaitu Enlightment.[5]

Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat. Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang) sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.

Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu :

1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.

2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.

3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.

4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).

5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang di peroleh dari pengalaman.

6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.[6]

B. Beberapa Pemikiran Filosuf Empirisme

Pada abad 17 masa Ranaissance bermunculan berbagai pandangan filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah bagian dari filsafat pada masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof. Berikut penulis sampaikan empat filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang cukup berpengaruh, yaitu Francis bacon, Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.

1. Francis Bacon (1561-1626).

Francis Bacon, lahir di London di tengah-tengah keluarga bangsawan Sir Nicholas Bacon. Ibunya, Lady Bacon, adalah seorang perempuan yang cerdas dan memiliki sentimen keagamaan yang kuat. Sebagai anak bungsu, Francis dikenal sebagai anak yang lemah dan serius. Ia masuk ke Trinity College, Cambridge, pada usia 12 tahun yang kemudian memikat perhatian sang Ratu karena kematangan intelektualnya. Ibunya sangat mengharapkan Francis menjadi seorang yang saleh, sedangkan ayahnya berharap ia menjadi seorang diplomat dan mengajarkannya tata cara kehidupan istana. Hal ini menimbulkan pertentangan dalam dirinya di kemudian hari.[7]

Francis Bacon dikenal sebagai negarawan dan filosof ilmu pengetahuan ternama di Inggris. Ia adalah seorang yang cakap di berbagai bidang. Ia dikenal ahli dibidang politik, hukum, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam karirnya sebagai negarawan dan politikus, Bacon sangat dihormati. Ia pernah diberi tugas di kedutaan besar Inggris di Paris. Kemudian ia terjun di bidang hukum dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1584 pada usia 23 tahun. Pada usia 57 tahun Bacon diangkat menjadi Lord Chancellor dan diberi gelar Baron de Verulam. Pada tahun 1621 ia diangkat menjadi Viscount of St. Albans. Di bidang ilmu pengetahuan, Bacon dikenal sebagai filosof ternama dan tokoh filsafat ilmu pengetahuan modern. Bacon meninggal dunia pada tahun 1626 karena serangan bronkhitis.[8]

Bacon hidup pada masa permulaan dunia memasuki era industri akibat kemajuan ilmu-ilmu alam. Beberapa penemuan dan aplikasi dari ilmu-ilmu dikembangkan guna kepentingan praktis dan kemudahan hidup manusia. Pada masa itu bangsa Eropa mulai berkeliling dunia ‘mencari’ tanah baru, dan mengembangkan industri demi kejayaan mereka. Hal ini menurut Bacon merupakan buah ilmu pengetahuan. Bacon tidak setuju dengan pandangan Aristoteles yang berprinsip bahwa ilmu yang sempurna tidak boleh mencari untung, tapi bersifat kontemplatif. Bacon berpandangan sebaliknya. Menurutnya ilmu harus ditujukan untuk mencari untung, memperkuat kemampuan manusia. dengan cara ini ilmu-ilmu dapat berkembang. Pengetahuan manusia hanya berarti jika tampak dalam kekuasaan manusia. Maka muncul prinsip Bacon human knowledge is human power, dan pernyataan yang paling tepat untuk menggambarkan karakter filsafat Bacon adalah knowledge is power.

Bacon mengkritik para filosof metafisika tradisional seperti laba-laba. Mereka dengan sangat cerdik membuat jaring dengan bahan yang keluar dari tubuh mereka, tetapi mereka tidak memiliki kontak dengan realitas sekitarnya. Atau mereka seperti semut yang mengumpulkan segudang bahan tanpa menyeleksi dan memodifikasinya. Menurut Bacon, filosof ilmu pengetahuan hendaknya seperti lebah. Ia mengumpulkan bahan-bahan dari bunga di kebun dan taman, kemudian memindahkan dan mencernanya dengan kekuatan yang ada pada dirinya dan keluar dalam bentuk madu. Ilmuwan harus bekerja sama dengan sesama ilmuwan dalam mengumpulkan ilmu pengetahuan. Mereka harus mengumpulkan data, menafsirkannya, mengadakan eksperimen dan mempelajari rahasia-rahasia alam melalui observasi yang terencana dan terorganisir.

Bacon berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga bilamana pengertian itu kurang jelas, maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya. Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran, maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.[9]

2. Thomas Hobbes (1588-1679)

Thomas Hobbes adalah anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesastraan dan filsafat.[10] Ia seorang filosuf Inggris, memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarakat dalam keadaan damai dan adil.[11]

Bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka yang sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya tercapai pengenalannya dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat disentuh dengan indera itulah suatu tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan; dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja selainnya bukanlah pengetahuan.

Materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.[12]

Ada yang menyebut ia seorang penganut sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indera) dalam pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini tentulah ia dianggap salah satu dari penganut empirisme yang mengatakan bahwa persentuhan dengan indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber ilmu pengetahuan.

Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Pengalaman intelektual tidak lain semacam perhitungan (kalkulus) yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan.[13] Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada empirisme secara konsekuen. Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis.

Baginya filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab atau asalnya.

Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari sebab-sebabnya. Dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita seperti: ruang, waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan pada benda.

Tidak semua yang diamati pada benda-benda itu nyata. Yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang ada pada pengamat saja, segala yang ada ditentukan oleh sebab, dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat.[14]

Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan diagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.

Sasaran yang diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata pada asosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.

3. Jhon Locke (1632-1704)

John Locke adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington, Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya.[15]

Lock menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.

Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations manusia tak dapat juga suatu pengetahuan

Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide innate.[16]

Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita.[17] Menurut Locke kita tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.[18]

Buku Jhon Locke, "Essay Concerning Human Understanding" 1689 ditulis berdasarkan premis yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman (halaman 108). Ini berarti, tidak ada yang dapat di jadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada dibelakang pengalaman tidak ada idea yang diturunkan.[19]

Faktor bawaan (innate) itu tidak ada, argumennya adalah:

a. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Pengetahuan datang melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan bawaan.

b. Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya yang inhern.

c. Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.

d. Apa innate idea itu sebernya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diketahui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru sebagai alasan untuk mengatakan ia tidak ada.

e. Tidak juga dicetakkan (ditempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.

Bedasarkan asas-asas teori pengenalan, dalam etikanya Locke menolak adanya pengertian keberhasialan yang tidak menjelaskan bawaan tabiat manusia. Apa yang menjadi bawaan tabiat kita hanyalah kecenderungan- kecenderungan yang menguasai perbuatan-perbuatan kita. Segala kecenderungan itu dapat di kombinasikan kepada usaha untuk mendapatkan kebahagian.[20]

Kesimpulan Locke adalah subtance is we know not what. Tentang subtansi kita tidak tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa yang dianggapnya subtansi ialah pengertian tentang obyek sebagai idea tentang obyek itu dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.[21]

4. David Hume (1711-1776)

David Hume lahir di Edinburg, Skotlandia pada 1711. Ia pun menempuh pendidikannya di sana. Keluarganya berharap agar ia kelak menjadi ahli hukum, tetapi Hume hanya menyenangi filsafat dan pengetahuan. Setelah dalam beberapa tahun belajar secara otodidak, ia pindah ke La Flèche, Perancis (tempat di mana Descartes menempuh pendidikan). Sejak itu pula hingga wafatnya 1776 ia lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di Perancis.[22]

Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak sesuai dengan impression (kesan) yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang tetap –substansi– itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.[23]

Manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).[24]

Yang dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.

Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.

Selanjutnya David Hume menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai berikut:

Setelah saya pikirkan secara teliti ternyata persepsi itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang sederhana (simple) dan persepsi yang ruwet (complex). Seluruh kesan dan idea kita saling berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya idea yang kompleks yang tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu. Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya tidak bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris namun saya harus mengatakan saya tidak sanggup membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea.[25]

Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.[26]

Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.[27]

Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai dewa untuk disembah.

Mukjizat adalah ajaran agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk menolak mukjizat, yaitu:

a. Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.

b. Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.

c. Kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya. Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh takhayul (the more we believe in science the less we are likely to be deceived by superstition).

d. Semua agama wahyu memonopoli kebenaran mukjizat.

e. Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal terbunuhnya Julius Caesar.[28]

C. Kritis terhadap Empirisme

Meskipun aliran filsafat empirisme memiliki beberapa keunggulan bahkan memberikan andil atas beberapa pemikiran selanjutnya, kelemahan aliran ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, yaitu:

1. Indera terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.

2. Indera menipu, pada orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.

3. Obyek yang menipu, conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan inderawi salah.

4. Kelemahan ini berasal dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sisi meta) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.[29]

Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu, juga menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup khasnya dan tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan menggunakan analisis filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan bahwa benda terdiri atas timbunan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi suatu makhluk hidup, apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan manusia. Di sisi lain seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman inderawi seperti hal-hal yang immaterial.



[1]Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet. ke-2, h. 137

[2]suparmanhttp://www.blogger.com

[3]Sudarsono, op.cit., h. 137-138

[4]http://gun2-ab.blogspot.com

[5]Ibid

[6]Ibid

[7]http://gun2-ab.blogspot.com

[8]Ibid

[9]Ibid

[10]I.R. Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 104.

[11]Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 71

[12]Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta : Prenada Media, 2008), h. 107.

[13]Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar), h. 53

[14]Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 32.

[15]Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 137

[16]I.R. Poedjawijatna, op.cit., h. 105

[17]M. Thoyibi , Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1994), h. 69

[18]Franz Magnis-Suseno, op.cit., h. 73.

[19]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 138

[20] Harun Hadiwijoyo, op.cit., h. 37

[21]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 142

[22]http://gun2-ab.blogspot.com

[23]I.R. Poedjawijatna, op.cit., h. 105.

[24]Amsal Baktiar, Filsafat Agama 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 108.

[25]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 143

[26]Amsal Baktiar, op.cit., h. 108-109

[27]Ibid., h. 110

[28]Ibid., h. 111

[29]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 21-22

0 komentar:

Posting Komentar