Selasa, 09 November 2010

UPAYA MENUMBUHKEMBANGKAN MINAT ANAK TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM

Posted by Eko 16.04, under | No comments



Pada hakekatnya manusia adalah makhluk yang dilahirkan dalam keadaan lemah dan tak berdaya, namun demikian ia telah mempunyai potensi bawaan yang bersifat laten. Dalam perkembangannya, manusia dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, dan salah satu sifat hakiki manusia adalah mencapai kebahagiaan.
Mudlor Ahmad sebagaimana di kutip oleh Muhaimin dan Abdul Mujib mengatakan bahwa:
 Fitrah merupakan suatu pembawaan setiap manusia sejak lahir, dan mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah yang merupakan akibat dari faktor lingkungan (pendidikan). Di dalam fitrah terkandung pengertian baik buruk, benar salah, indah jelek, lempang-sesat, dan seterusnya. Oleh karenanya pelestarian fitrah ini dapat dibentuk lewat pemeliharaan sejak awal (prefentif) atau mengembalikannya pada kebaikan setelah ia mengalami penyimpangan (kuratif).[1]

Fitrah ini baru berfungsi setelah melalui proses bimbingan dan latihan. Fitrah manusia sebagai anugerah Allah Swt. yang tidak ternilai harganya itu harus dikembangkan agar manusia dapat menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Usaha pengembangan fitrah harus dilaksanakan secara sadar, berencana, sistematis, eksplisit, menyeluruh, dan seimbang. Dan jika fitrah tersebut tidak dikembangkan secara menyeluruh dan seimbang, maka tidak  akan tercapai apa yang disebut manusia sempurna (insan kamil).[2] Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Alquran surat al-Rum ayat 30 sebagai berikut:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

Secara sempit fitrah dalam ayat tersebut bermakna potensi untuk beragama,   potensi itu harus dikembangkan dengan melalui pendidikan. Hal ini sebagaimana  di jalaskan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 78 yang berbunyi: 
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
 Jadi jelaslah, bahwa potensi bawaan (agama) tersebut memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan (pendidikan) yang mantap lebih-lebih pada usia dini. Tanda-tanda keagamaan pada diri anak tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan pada diri anak. Belum terlihatnya tindakan keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang belum sempurna. Namun demikian pengalaman-pengalaman yang diterima oleh anak dari lingkungan akan membentuk rasa keagamaan pada diri anak. Oleh karena itu, perlu usaha bimbingan dan latihan dari pendidik (orangtua) seiring dengan perkembangan anak.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya yaitu:
1.      Prinsip Beologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
2.      Prinsip Tanda Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3.      Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.[3]
Melihat prinsip tersebut, maka pendidikan Islam dapat ditempuh di rumah (keluarga), sekolah dan masyarakat. Dalam keluarga, secara praktis seorang anak yang tumbuh di rumah akan memulai kehidupannya dalam keadaan terlindung dari penyakit-penyakit moral dan pikiran. Di masa remaja ia sudah sanggup berjuang untuk tidak mau menyerah pada keinginan-keinginan nafsunya yang membahayakan. Hal ini sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh beberapa kajian Islam di bidang pendidikan dan moral.
Salah seorang ulama kaum muslimin yang pernah mengingatkan hal itu dan menganggapnya sebagai salah satu sendi pembentukan sistem pendidikan dalam berbagai kitabnya, khususnya kitab Ihya’Ulumuddin. al-Ghazali menerangkan tentang riyadhah atau upaya melatih anak-anak kecil pada awal pertumbuhan mereka. Ia menegaskan, sesungguhnya anak kecil itu amanat bagi kedua orang tuanya. Hatinya masih suci bersih dan kosong. Ia menerima setiap goresan, dan cenderung ke mana ia diarahkan. Jika dibiasakan dan diajari kebajikan, ia akan tumbuh pada kebajikan dan berbahagia di dunia dan di akhirat. Jika sudah memasuki usia akil baligh, jangan beri ia toleransi meninggalkan bersuci dan shalat. Pada hari-hari di bulan suci Ramadhan ia harus diperintah untuk ikut menjalankan ibadah puasa.[4]
Apabila di masa kecil seorang anak tumbuh seperti itu, pada usia akil baligh ia sudah banyak terpengaruh olehnya, karena mengukir pada hatinya sama gampangnya seperti mengukir pada seonggok batu. Tetapi kalau ia tumbuh kebalikannya, seperti ia masih suka bermain, suka berbuat jahat, memakan makanan yang tidak halal, memakai pakaian yang haram, mengenakan perhiasan yang syubhat, sombong dan lain sebagainya. Ibarat tembok yang susah ditempeli pasir yang kering.[5]
Pengendalian utama kehidupan manusia adalah kepribadiannya yang mencakup segala unsur-unsur pengalaman, pendidikan dan keyakinan yang didapatnya sejak kecil.[6] Apabila sejak kecil anak sudah terbiasa dengan nilai-nilai Islam yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya, maka kelak waktu dewasa dia akan memiliki kepribadian yang mulia, dan terhindar dari perbuatan tercela.
 Oleh karena itu, untuk menumbuhkembangkan minat anak terhadap pendidikan Islam dapat dilakukan dengan memberikan keteladanan dan membiasakan anak sejak dini.
Metode keteladanan berarti metode dengan memberi contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir dan sebagainya.[7] Keteladanan adalah metode yang influitif yang paling meyakinkan keberhasilan dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral spiritual dan sosial.  Ini sejalan dengan pendapat Abdullah Nashih Ulwan dalam kitabnya Tarbiyatul Aulad fil Islam:
"القدوة فى التربية هى من أنجع الوسائل المؤثرة في إعداد الولد خلقيا. وتكوينه نفسيا واجتماعيا. ذلك لأن المربي هو المثل الأعلى في نظر الطفل"[8]
Menurutnya keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang paling berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk  aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Hal ini karena pendidik (orang tua) adalah figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak-tanduk dan sopan santunnya disadari atau tidak, akan ditiru anaknya.
Keteladanan bagi anak mempunyai pengaruh yang besar terhadap pribadi anak, sehingga peran orang tua, sekolah dan masyarakat juga dituntut agar bisa menjadi contoh yang baik bagi peserta didiknya. Hal ini terjadi, karena dalam prakteknya peserta didik cenderung meneladani pendidiknya.
Di samping metode keteladanan, pembiasaan juga merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak. Pembiasaan yang harus dikembangkan dalam diri anak pada dasarnya harus mencakup tingkah laku, ketrampilan, kecakapan dan pola pikir tertentu.[9] Oleh karena itu, Ahmad Tafsir berpendapat, bahwa pembiasaan merupakan teknik pendidikan yang jitu, walau ada kritik terhadap metode ini. Karena cara ini tidak mendidik anak untuk menyadari dengan analisis apa yang dilakukannya. Oleh karena itu, pembiasaan ini harus mengarah kepada kebiasaan yang baik.[10]
Bentuk metode pembiasaan yang harus ditanamkan dalam diri anak adalah pembiasaan akidah, ibadah dan akhlak al-karimah.[11] Orang tua dalam hal ini sangat berperan dalam membiasakan anaknya untuk menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan rumah tangganya. Mulai dari hal-hal yang kecil sampai pada hal-hal yang lebih besar. Karena kebiasaan itu akan mempunyai pengaruh yang besar pada kepribadian anak kelak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah syair yang artinya: “Anak akan tumbuh pada apa yang dibiasakan ayahnya kepadanya. Ia tidak dapat tunduk oleh akal, tetapi kebiasaanlah yang dapat menundukkannya.”[12]
Menanamkan kebiasaan itu memang sulit, kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, karena itulah orang tua dituntut untuk menjadikan dirinya sebagai teladan terlebih dahulu, agar dalam pembiasaan nantinya anak tidak terlalu sulit. Bila orang tua hanya sekedar membiasakan anaknya untuk berbuat kebaikan sedangkan dia sendiri tidak melakukan maka hal ini akan menimbulkan tekanan mental atau gejolak jiwa pada anak. Yang pada akhirnya anak tidak akan berminat untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Untuk itulah, keteladan dan pembiasaan merupakan hal yang sama-sama fundamental dalam mendidik anak di dalam lingkungan keluarga. Kalau ingin berhasil dalam mendidik anak, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya, di samping orang tua juga harus membiasakan anak untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam.   


[1]Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Trigenda Karya, Bandung, 1993, h. 27.
[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), h. 204-205.
[3]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 63-64.
[4]Ibid, h. 64
[5]Ibid, h. 93
[6]Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983),Cet-ke 7, hlm. 56-57.
[7]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., h. 178
[8]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-Aulad Fi al-Islam, (Bairut : Dar al-Salam, tth.), Jilid 2, h. 633.
[9]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, op.cit., h. 185 
[10]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 144.
[11]M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), h. 187.
[12]Abdullah Nasih Ulwan “Tarbiyah al Aulad Fi al-Islam” diterjemahkan oleh Jamaludin Miri, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), Cet. ke-3, Jilid 2,  h. 194

0 komentar:

Posting Komentar