Rabu, 30 Maret 2011

Hadits Qudsi

Posted by Eko 17.00, under | 2 comments


 A.  Pengertian Hadits Qudsi
Secara etimologis, hadits memiliki makna sebagai berikut:
  1. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidats, hudatsa, dan huduts);
  2. Qarib, yang dekat, yang belum lama terjadi seperti dalam perkataan haditsul ahdi bil Islam (orang yang baru memeluk agama Islam);
  3. Khabar, warta atau berita, yakni ma yatahaddatsu bihi wa yunqalu (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang yang lain.[1]
Adapun pengertian Hadits secara terminologis menurut Ahli Hadits:
ما اضيف الى النبي صلى لله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او صفة.[2]
Artinya: Segala sesuatu yang dinukilkan/disandarkan kepada Nabi SAW.., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifatnya.
Kemudian kata القدسي dinisbahkan kepada kata القدُس (suci). Nisbah ini menunjukkan rasa ta’zhim (hormat akan kebesaran dan kesucian-Nya), oleh karena kata itu sendiri menunjukkan kebersihan dan kesucian secara bahasa. Maka kata taqdis berarti mensucikan Allah SWT.. Taqdis  sama artinya dengan  tathhir,; dan taqaddasa sama dengan tathahhara  (suci, bersih). Seperti; kata-kata malaikat kepada Allah dalam suatu dialog yang dilukiskan dalam Alquran:
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ  
Artinya: “……Padahal kami  senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"  (Q.S. al-Baqarah: 30)
Al-Munawi dalam kitab al-Misbah mengatakan bahwa; “Lafal al-Qudsi bisa juga dibaca al-Qudusi yang artinya Ath-Tuhr (suci). Dalam bahasa Arab disebutkan istilah al-Ardhu al- Muqaddasah (Tanah yang disucikan). Kalau lafal al-Hadits disandarkan kepada kata al-Quds sehingga berbunyi al-Hadits Qudsiyyah, maka tidak lain disandarkan sepenuhnya kepada Allah SWT..[3]
Hadits qudsi secara istilah ialah suatu hadits yang oleh Nabi SAW., disandarkan kepada Allah SWT. Maksudnya, Nabi SAW.. Meriwayatkannya dalam posisi bahwa yang disampaikannya adalah kalam Allah SWT. Jadi, Nabi SAW. itu adalah orang yang meriwayatkan kalam Allah, tetapi redaksi lafalnya dari Nabi sendiri. Jika seseorang meriwayatkan satu hadits qudsi, berarti dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW. yang dinisbatkan kepada Allah SWT. Apabila ada orang yang meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah SAW., berarti dia menyandarkannya kepada Allah SWT.. Maka, hendaknya orang itu berkata, “Rasulullah SAW.. bersabda sebagaimana yang diriwayatkan dari Tuhannya Azza wa Jalla.” Atau, bisa juga dia mengatakan, “Rasulullah SAW.. mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya”, atau “Rasulullah SAW.. bersabda; Allah SWT. telah berfirman atau berfirman Allah SWT..[4]
Hadits Qudsi juga disebut Hadits Illahi dan Hadits Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), illahi (Tuhan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah Yang Maha Suci, dan dinamakan Hadits karena Nabi yang menceritakannya dari Allah SWT.. Kata qudsi sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadits, sandaran hadits kepada Tuhan tidak menunjukan kualitas hadits. Oleh karena itu, tidak semua hadits qudsi shahih, hasan, dan dhaif, tergantung persyaratan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad atau matan.  
       
B.  Perbedaan Alquran  dengan Hadits Qudsi
Sebelum membahas perbedaan antara kedua hal tersebut di atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari Alquran. Dari segi bahasa, Alquran berasal dari kata:  قرأ, يقرأ , قراءة , قرأنا, yang berarti bacaan atau yang dibaca dengan makna isim maf’ul.[5]
Dari definisi di atas, jelas bahwa Alquran adalah kalam Allah SWT. (bukan kalam Nabi dan kalam malaikat) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.. (melalui malaikat Jibril) yang dianggap ibadah bagi yang membacanya (satu huruf Alquran dibalas 10 kebaikan).
Menurut Syaikh Manna al-Qathan ada beberapa perbedaan antara Alquran dengan hadits qudsi, diantaranya yaitu:
1.     Alquran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafadznya, dan dengan Alquran itu Allah menantang orang Arab, tetapi mereka tidak mampu membuat yang seperti Alquran itu, atau sepuluh surat yang serupa itu, atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Alquran merupakan mukjizat abadi hingga Hari Kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula berfungsi sebagai mukjizat.
2.    Alquran tidak dinisbahkan kecuali hanya kepada Allah SWT.. Istilah yang dipakai biasanya “(قال لله تعالى : Allah Ta’ala telah berfirman).” Adapun hadits qudsi terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah. Penyandaran hadits qudsi kepada Allah itu bersifat penisbatan insya’i  (yang diadakan). Di sini juga menggunakan ungkapan (قال لله تعالى : Allah Ta’ala telah berfirman) atau (يقول الله تعالى : Allah berfirman). Terkadang juga diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW., tetapi penisbatannya bersifat ikhbar (pemberitaan), karena Nabi SAW.. yang mengabarkan hadits itu dari Allah SWT. Maka di sini dikatakan;
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل     
Rasulullah SAW.. Mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannya ‘Azza wa Jalla.
3.    Seluruh isi Alquran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak (qoth’i ats-tsubuth). Sedangkan hadits qudsi sebagian besar memiliki derajat khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (zhanni ats-tsubut). Adakalanya hadits qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan adapula yang dhaif (lemah).[6]
4.    Alquran baik lafadz maupun maknanya dari sisi Allah yakni wahyu yang berupa lafadz maupun makna. Adapun hadits qudsi maknanya dari sisi Allah dan lafadznya (redaksinya) dari Rasulullah SAW.. Hadits qudsi wahyu dalam makna, bukan dalam lafadz. Oleh karena itu, boleh meriwayatkan maknanya menurut Jumhur Ahli Hadits.[7] 
5.    Alquran membacanya merupakan ibadah, oleh karena itu disunnatkan membaca Alquran pada waktu shalat sesuai dengan firman Allah:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ (المزمل :20)
Artinya:          “Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran.”
Nilai ibadah dalam membaca Alquran juga terdapat dalam hadits:
من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول آلم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف
Artinya: “Barangsiapa  membaca satu huruf dari Alquran , dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan “alif lam mim” itu satu huruf. Tetapi “alif” satu huruf  “lam” satu huruf dan” mim” satu huruf.”

Adapun hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja. Jadi membaca hadits tidak memperoleh pahala seperti membaca Alquran bahwa pada setiap hurufnya mendapatkan sepuluh kebaikan, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.[8]

C.  Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
  1. Tauqifi; Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW.. dari wahyu. Lalu, ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah SAW.., sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
  2. Taufiqi; Yang bersifat taufiqi yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW.. menurut pemahamannya terhadap Alquran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Alquran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijitihad ini diperkuat oleh wahyu jika ia benar. Dan, bila terdapat kesalahan di dalamnya, turunlah wahyu yang membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam Allah.
Dari sini, jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi atau yang taufiqi dengan ijtiihad yang diakui oleh wahyu itu dapat dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah SWT.. tentang Rasulullah SAW..
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى  
Artinya: “Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (Q.S. an-Najm: 3-4).
Hadis qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW.. melalui salah satu cara penuturan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW.. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis qudsi kepada Allah Taala adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab, seandainya hadis qudsi itu lafalnya juga dari Allah, tidak ada lagi perbedaan antara hadis qudsi dan Alquran, dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun akan dianggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam syubhat yaitu:
Pertama, bahwa hadis nabawi juga wahyu secara maknawi yang lafalnya dari Rasulullah SAW.., tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadis qudsi?.
Jawabnya adalah, kita merasa pasti tentang hadis qudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nas syar’i yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW..; Allah Ta’ala telah berfirman (قال لله), atau Allah Ta’ala berfirman (يقول الله). Itu sebabnya kita namakan hadis itu hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis nabawi, karena hadis nabawi tidak memuat nas seperti ini. Di samping itu, masing-masing isinya boleh jadi diberitahukan kepada Nabi melalui wahyu, yakni secara tauqifi, namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad, yaitu secara taufiqi. Oleh sebab itu, kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namai pula hadis qudsi.
Kedua, apabila lafal hadis qudsi itu dari Rasulullah SAW.., maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi: Allah Ta’ala telah berfirman atau Allah Ta’ala berfirman?.
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa Arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya, bukan berdasarkan lafalnya. Misalnya ketika kita mengubah satu bait syair, kita mengatakan bahwa “si penyair berkata demikian”. Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si Fulan berkata demikian”. Begitu juga Alquran menceritakan tentang Musa, Firaun, dan lainnya, isi kata-kata mereka dengan lafal yang bukan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan gaya bahasa mereka, tetapi dinisbahkan kepada mereka.[9]

D.  Pendapat Ulama Hadits terhadap Hadits Qudsi
Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, bahwa hadits qudsi termasuk firman Allah SWT., bukan sabda Nabi SAW., tetapi Nabi SAW. hanya menceritakan saja, dengan alasan sebagai berikut:
1.     Hadits qudsi selalu disandarkan kepada Allah SWT.. Oleh karena itu hadits qudsi juga dinamakan hadits Ilahy.
2.    Hadits qudsi selalu memuat dhamir al-Mutakallim yaitu; انا, نحن dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah Allah adalah Allah sendiri. Misalnya:
قال النبي صلى الله عليه وسلم  قال الله عز وجل: ياعبادى اني حرمت الظلم على النفسى.
Artinya: Nabi SAW.. bersabda; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Wahai Hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan penganiayaan atas diri-Ku.
3.    Bahwa sanad hadits qudsi itu tidak hanya berakhir pada Nabi SAW., tetapi sampai kepada Allah SWT. melalui Nabi SAW.; sedangkan sanad hadits nabawi (hadits biasa) hanya sampai kepada Nabi SAW..
Menurut pendapat ini, meskipun hadits qudsi ini termasuk firman Allah SWT., tetapi ia tidak mempunyai status yang sama dengan Alquran, karena Alquran diterima secara mutawatir, sedangkan hadits qudsi seperti keadaan hadits-hadits nabawi lainnya pada umumnya diterima secara ahad (perorangan).[10]
Kedua, bahwa hadits qudsi itu lafalnya dari Nabi SAW. sendiri seperti hadits-hadits nabawi lainnya. Yang berpendapat demikian antara lain Abu al-Baqa’ dan al-Thibi. Abu al-Baqa’ berkata:
القران ماكان لفظه ومعناه من عند الله بوحي جليّ، وامّا الحديث القدسيّ فهو ما كان لفظه من عند رسول الله صلى لله عليه وسلم ومعناه من عند الله بالإلهام او بالمنام 
Artinya:          Alquran ialah yang maknanya dan lafalnya dari Allah dengan wahyu yang jelas. Adapun hadits qudsi ialah yang lafalnya dari Nabi SAW.., sedangkan maknanya dari Allah dengan jalan Ilham atau dengan jalan mimpi.

Sedangkan menurut al-Thibi:
القران هو اللفظ المنزل به جبريل على النبي صلى لله عليه وسلم والحديث القدسيّ اخبار لله تعالى معناه بالإلهام اوبالمنام فأخبر النبي صلى لله عليه وسلم امّته بعبارة نفسه وسائرالأحاديث لم يضفها اى لم يسندها ولم يروها عن الله تعالى.
Artinya:          Alquran ialah lafal yang diturunkan oleh Jibril dari Allah SWT.. kepada Nabi SAW.. Adapun hadits qudsi ialah sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan untuk disampaikan dengan jalan melalui ilham atau impian, kemudian Nabi SAW.. memberitahukan kepada umatnya dengan bahasa sendiri. Sedangkan hadits-hadits yang lain tidak disandarkan kepada Allah dan tidak diriwayatkan daripada Allah.[11]

E.  Beberapa Contoh Hadits Qudsi
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ أَنْفِقْ أُنْفِقْ عَلَيْكَ وَقَالَ يَمِينُ اللَّهِ مَلأَى سَحَّاءُ لاَ يَغِيضُهَا شَىْءٌ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (رواه البخارى)  
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. sampai kepada Nabi SAW., beliau bersabda: "Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi berfirman : "Wahai anak Adam, berikanlah nafkah maka Aku beri nafkah atasmu". Beliau bersabda : "Tangan Kanan Allah itu penuh, banyak memberi di siang dan malam hari, dan tidak kurang sedikit pun karenanya". (H.R. Bukhari).
عن أبي هريرة : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: إن الله تعالى يقول: يا ابن آدم تفرغ لعبادتي أملأ صدرك غنى وأسد فقرك وإلا تفعل ملأت يديك شغلا ولم أسد فقرك. (رواه الترمذي)
Artinya:     Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw, beliau bersabda : "Sesungguhnya Allah berfirman : "Wahai anak Adam (manusia) luangkanlah waktu untuk ibadah kepadaKu maka Aku isi dadamu dengan kekayaan, dan Aku tutup kekafiranmu. Jika tidak demikian maka Aku isikan kesibukan di mukamu dan Aku tidak menutup kefakiranmu". (H.R. At-Tirmidzi)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم: يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِى. (رواه البخارى)  
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah SAW. bersabda; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku, menurut sangkaan hamba-Ku dan Aku besertanya di mana saja dia menyebut (mengingat) Aku.” (H.R. Bukhari)  




[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. ke-3, h. 3  
[2]Khafidz Hasan al-Mas’udi, Minkhatul Mughits, (Surabaya: al-Hidayah, t.th), h.8
[3]http://dualmode.depag.go.id
[4]Syaikh Manna’ al-Qathan, “Mabakhis fi ‘Ulumi al-Qur’an”  diterjemahkan oleh Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 25
[5]http://dualmode.depag.go.id
[6]Syaikh Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 26
[7]St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), h. 44
[8]Syaikh Manna’ al-Qathan, op.cit., h. 27
[9]Ibid., h. 27-29
[10]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1994), Cet. ke-4, h. 9-10
[11]Ibid,  h. 10-11

2 komentar:

Kereeeeeenn gan artikelnya sangat bermanfaat salam kenal dari blogger amatiran Lombok Utara.

Ya syukran...
mudahan bermanfaat....

Posting Komentar